Jika anda memasuki kawasan Perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP),
ada sebuah pemandangan yang sangat mengganggu mata jika anda menyadarinya. Sejak
dari pintu gerbang hingga masuk ke lebih dalam pemukiman tersebut, ada keadaan
kumuh yang kerap terjadi setiap menjelang pemilu. Sebuah ironi karena perumahan
terbesar di Indonesia timur itu dikelilingi bangunan rumah toko yang bertingkat,
beberapa diantaranya terlihat mewah. Kekumuhan yang terjadi di kompleks
perumahan ini memang karena banyaknya sampah visual yang ‘mencemari’ pemandangan.
Sampah yang dimaksud di sini adalah poster, banner dan baliho para caleg yang
mendominasi jalanan sepanjang jalan poros BTP. Dari semua pohon dan tiang
listrik yang ada, tidak ada satupun yang terlewati sejumlah sampah visual.
Tidak hanya itu, kesemrawutannya tersebar dimana-mana, ‘korban’ yang lainnya
adalah tiang telepon, tiang lampu penerangan jalan, bahkan beberapa baliho
telah rusak mungkin dikarenakan oleh tangan-tangan jahil atau diterpa angin dan
didiamkan begitu saja di pinggir jalan.
Perumahan BTP mungkin bukan
satu-satunya tempat bertebarannya sampah visual, namun sebagai salah seorang warganya,
pemandangan kumuh karena iklan-iklan politik ini sangat mengganggu sekaligus
membuat kesal karena diletakkan tidak sebagaimana mestinya. Beberapa ruas jalan
di kota Makassar pun juga menjadi korbannya. Banyak pohon-pohon dipaku untuk
memasang banner, jembatan dan pagar-pagar gedung perkantoran pun ditempeli banyak
poster-poster. Sungguh mengerikan.
Iklan politik mendominasi ruang publik bukan hal yang baru, bahkan sebahagian
masyarakat sudah kebal dan tanpa sadar akhirnya
mengabaikan, hidup terbiasa dengan ruang publik yang menjadi tempat sampah bagi
sejumlah iklan komersial, maupun iklan politik yang dipasang tidak pada tempatnya.
Pesan tunggal bentuk verbal-visual yang ditampilkan oleh semua iklan
politik lewat senyuman lebar, tatapan tajam yang serius, gaya menelungkupkan kedua
telapak tangan di depan dada, gaya tatapan menerawang, gambar diri yang gagah,
yang cantik, kental akan kedaerahan, adat dan budaya atau nasionalisme. Pada intinya, yang ingin disampaikan oleh mereka
adalah “Pilihlah saya
dengan nomor urut sekian”.
Perilaku vandalisme
Perilaku
narsis sebagai model kampanye yang menjajah dan merusak ruang publik dengan
memaku batang pohon, menyandarkan baliho yang besar sehingga menutupi beberapa
rambu lalu lintas, jelas-jelas mendzalimi pohon dan masyarakat, apalagi jika dilakukan
tanpa seizin warga setempat. Sudah tidak ada lagi kenyamanan di ruang publik, terusik oleh kehadiran iklan politik yang
tidak sesuai tempatnya. Keteduhan pohon hijau segera berganti dengan
kesemrawutan hutan reklame di setiap sudut dan ruang publik. Bukan tidak
mungkin jika hujan dan angin kencang datang, sampah-sampah visual politik itu
berpotensi bencana bagi warga sekitar.
Iklan-iklan kampanye politik yang
membanjiri ruang publik, sepertinya tidak berpedoman lagi pada moralitas, kearifan,
ekologi visual dan lingkungan hidup. Tetapi kemudian menjadi pongah dalam
simbolilasi tanpa makna dan tanpa mampu mengkomunikasikan visi misinya secara
proporsional, persuasif dan komunikatif. Para kandidat tersebut kekurangan atau mungkin
tidak mempunyai ide segar dan kreatif dalam memilih media lain dan non mainstream untuk ‘menjual’ diri
mereka, selain merusaki lingkungan dengan terus-terusan memperbanyak sampah
visual.
Vandalime yang mereka lakukan dapat dikatakan menjadi sebuah bagian dari kegagalan
dalam memadukan simbol sebagai visual dengan akar masalah yang ingin dibangun.
Akibatnya, kekumuhan muncul dengan berbagai gambar di pohon-pohon, jembatan,
dinding gedung perkantoran. Sebuah pemandangan yang tentu saja sangat ‘memekakkan’
mata, bahkan hati dan pikiran.
Teror Visual
Iklan luar ruang menjadi pilihan paling populer bagi para kandidat
tersebut, apalagi kalau bukan karena iklan luar ruang lebih murah daripada
beriklan di media mainstream, apalagi
mudah terlihat langsung oleh orang-orang yang melintas.
Bukanlah hal yang berlebihan ketika sampah visual ini yang kemudian apa
yang disebut oleh Sumbo Tinarbuko, seorang pemerhati budaya visual sekaligus
aktivis reresik sampah visual (sebuah komunitas di Yogyakarta yang menjaga
ruang publik mereka dengan kegiatan mencabut iklan luar ruang yang menjadi
sampah visual) sebagai suatu teror visual yang semakin lama, semakin horor. Menurutnya
masalah sampah visual diakibatkan karena egoisme dari beberapa pihak;
Pemerintah yang belum membuat masterplan
iklan luar ruang; biro iklan dan tukang pasang iklan berburu tempat strategis
untuk memasang iklan luar ruang agar target marketing komunikasinya cepat tercapai, penegak hukum yang tidak begitu tegas dalam
menindak para pelanggaran pemasangan iklan luar ruang. Sanksi hukum yang ada
tidak dijalankan secara maksimal; dan yang terakhir adalah sebahagian
masyarakat kita menganggap sampah visual adalah hal yang biasa. Masih banyak orang
yang tidak merasa risih dengan kehadiran sampah visual ini dan mereka hidup
bersamanya.
Teror visual ini tentu saja meneror orang-orang yang risih dan peduli
akan lingkungan mereka, dan ketika menjelang pemilu, teror visul ini semakin menakutkan.
Seandainya saja pemasangan iklan-iklan
politik ini ditempatkan dengan baik dan tidak menyalahi aturan. Seharusnya
iklan poster dan banner tidak boleh dipasang pada lima tempat yaitu: yang
pertama taman kota, trotoar atau ruang terbuka hijau, yang kedua rambu lalu
lintas, tiang listrik, lampu penerangan, yang ke tiga adalah di jembatan, ke
empat adalah di dinding-dinding atau bangunan bersejarah dan yang kelima adalah
dipakukan di pohon.
Membahas sampah visual tidak akan ada habisnya, ketika pemilu usai maka
akan berganti dengan sampah visual iklan-iklan komersial. Yang paling mungkin
bisa dilakukan saat ini dari pihak pemerintah adalah adanya pengawasan DPRD
Makassar, termasuk intens memantau lokasi mana saja yang banyak terdapat
reklame ilegal guna mencegah semakin semrawutnya reklame. Tidak hanya di ruas
jalan kota besar saja yang perlu diperhatikan dan diawasi karena jika tidak
ditertibakan, maka bisa saja sampah visual terutama baliho yang berukuran besar
bisa membahayakan keselamatan para pengguna jalan atau warga sekitar.
Perlu adanya kesadaran dari masyarakat yang paham bahwa ruang publik mereka
tidak boleh dijajah oleh iklan yang tidak jelas tempatnya, pohon-pohon tidak
boleh dijadikan media untuk memasang iklan luar ruang dan mata mereka tidak
bisa diganggu dengan keberadaan sampah visual.
Sebagai masyarakat, kita perlu berhati-hati dalam menentukan siapa yang
layak untuk memimpin. Tidak terjebak oleh pemyampaian pesan verbal dan visual
kampanye semata. Foto dan janji yang besar-besar itu bukanlah apa-apa jika tidak
dibarengi dengan kerja nyata untuk mensejahterakan rakyat.
Dan yang terakhir walau kecil kemungkinannya adalah kesadaran para kandidat
dan semua pihak yang terkait dengan para kandidat ini, baik itu tim sukses, pihak biro iklan dan
tukang pasang iklan untuk tidak sekedar mengejar target maketing komunikasinya agar
bisa terpilih dengan melakukan tindakan vandalisme merusaki lingkungan dan
ruang publik yaitu menaruh iklan politiknya di sembarangan tempat.
Beriklan, menyampaikan pendapat atau aspirasi melalui media luar ruang bukanlah
hal yang salah selama tidak menyalahi aturan atau sesuai dengan peruntukkannya.
Mari memilih para pemimpin yang peduli lingkungan dan yang konsisten
terhadapnya. Konsisten sejak menjadi kandidat hingga menjadi wakil rakyat yang
terpilih. Para calon pemimpin kita pastilah orang cerdas dan terpelajar sehingga
perbuatan mereka tidak akan keluar dari jalur keadilan, termasuk adil terhadap
lingkungan yang kita tinggali bersama. Seperti yang dikatakan oleh Pramoedya
Ananta Toer, di bukunya yang berjudul Bumi Manusia, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi
dalam perbuatan”.
Makassar, 25 Agustus 2013
0 komentar:
Posting Komentar