Pages

Rabu, 20 Maret 2013

Bernyanyi di Bawah Rembulan

source  http://my.opera.com/kraletjies/blog/2012/01/07/the-moon-looks-like-beautiful-magic-tonight

Sering bernyanyi di bawah rembulan ? atau pernah melakukannya? coba deh, rasanya beda dengan nyanyi di kamar mandi, iyalah, hehe. Kegiatan ini sering saya lakukan sejak masih kecil, tapi sekarang sudah jarang. Kalau ada waktu berada di luar, saya akan melakukannya. Coba bayangkan di tempat sepi, angin sepoi-sepoi menerpa wajah (halah) menatap rembulan terus nyanyi lagu favoritnya, rasanya gimanaa gitu :)
Jika berada di rumah, saya sering naik ke lantai atas tempat menjemur pakaian, apa lagi kalau bukan menatap rembulan dan nyanyiii, kadang-kadang dengan gaya, bersandar di dinding atau duduk selonjoran di sudut, udah deh berasa lagi jadi model video klip :D

Sdah berada di loteng, memandang langit yang bertaburan bintang-bintang, ngintip rembulan yang malu-malu di balik awan, hihihi, terus gak jarang ada pesawat yang lewat menganggu kesyahduan suasana. Trus nanyi lagu apa? belakangan ini saya suka sekali lagunya Maudi Ayunda, Perahu Kertas.Sering menyanyikan lagu itu kalau sedang berada di loteng rumah dan nyanyi bergaya sepuasanya, mumpung lagi sendirian dan gak ada yang lihat, hihi. 

Sekarang karena sementara lagi nge-kos di Jogja dan gak ada loteng yang bisa dijadiin tempat melihat rembulan dan nyanyi, saya sering nyanyi aja di sepanjang Jalan Kaliurang kalo lagi nyari makan malam, bulan setia sekali menemani perjalanan saya :) iya kan? pasti juga merasakan kalau lagi di jalanan, melihat bulan, serasa diikutin. 

Eh, mumpung bulannya masih muncul, lanjut nyanyi lagi ah :)


Sleman, 20 Maret 2013



Kamis, 14 Maret 2013

Di Jogja, tidak ada arah ke kanan atau ke kiri


source : http://www.batasnusa.com/tugujogja-landmarknya-jogja.html
Ada kegelisahan tersendiri ketika saya harus menanyakan arah jalan di Jogja (halah), paling tidak itulah yang saya rasakan ketika tiba di kota ini. Karena di tempat saya berasal, menanyakan tempat cukup dengan mengatakan nama jalan, sebelah kanan atau kiri trus biasanya ditandai dengan satu bangunan yang sudah familiar. Misalnya: tempatnya berada di Jalan X, sebelah kanan Hotel Y. Saya yang tidak terbiasa dengan arah mata angin memaksa saya  harus menghapal betul arah mata angin disini, tapi sampai sekarang saya masih bingung.

Tidak masalah ketika saya masih berada di area sekitar kos atau di kampus, saya masih bisa mengenali arah utara, ke arah Gunung Merapi, karena patokan orang-orang disini adalah Gunung itu. Apalagi dari kos atau kampus puncak Merapi sangat terlihat jelas. Pokoknya harus ingat utara itu ada di arah Gunung Merapi, saya ulangi kata-kata itu di kepala saya. Tapi lain lagi ketika berada jauh dari daerah kos atau kampus, saya mana tahu Merapi ada dimana?? belum lagi ketika harus bertanya ke penduduk sekitar, bukannya saya jadi mengerti, malah tambah bingung karena petunjuk jalannya masih diberi arah mata angin. Belum lagi, sepertinya orang Jogja tidak terbiasa menyebutkan nama jalan, tapi nama tempatnya. Misalnya: Ke arah barat, lalu belok kiri, tempatnya di samping X (menyebutkan nama tempat). Lengkaplah penderitaan saya sebagai pendatang ketika diberi intruksi seperti itu. x_x

Saat pertama kali datang di kampus untuk mendaftar ulang, saya dibuat ngos-ngosan karena harus mencari gedung akademik pasca. Masuk gedung sana, masuk gedung sini, tanya sana, tanya sini, saya malah mutar-mutar tidak jelas. Malah nyasar di tempat parkir lantai dasar, saya melihat seorang bapak sedang setengah tertidur di kursinya menjaga kendaraan, dengan rasa tidak enak, saya bangunkan dia dan menanyakan gedung akademik untuk pasca dimana. Dan tebak, saya dikasih arah mata angin lagi, malah semakin tidak jelas karena saya tidak mengerti ucapan si bapak, akhirnya saya malah diarahkan masuk ke sebuah pintu (bukan pintu kemana saja) tidak jauh dari tempat saya dan bapak itu berdiri, akhirnyaaaa. Apakah pencarian saya berakhir di balik pintu itu ? saya pikir itu adalah pintu masuk ke gedung akademik, tapi ternyata itu adalah pintu masuk ruang tempat peralatan office boy ("_ _)/|

Yasud, saya kemudian meninggalkan tempat parkir dengan rasa kecewa, memulai lagi pencarian jati diri (eh?) saya memutuskan untuk masuk ke gedung kuliah fisipol (dan entah sudah berapa kali saya masuk di gedung itu, tapi tidak menemukan pencerahan)  karena waktu itu adalah waktu libur, maka tidak  banyak orang berlalu lalang yang bisa ditanyai. Eitss, tunggu dulu ada seorang bapak yang melintas, saya lalu bertanya, dan kira-kira waktu itu jawabannya seperti ini,  “Mba e jalan keluar dari sana, trus ke arah  barat, belok sedikit, gedungnya ada disebelah selatan, dan bla, bla, bla, bla...” saya tidak menyerah, terus saya nanya lagi alias mengkonfirmasi ke bapaknya dengan menggunakan arah kanan atau kiri, dengan maksud nanti si bapak mengikuti saya menggunakan kata “kanan” atau “kiri” tapi bapaknya tidak bilang ‘iya’ dan juga tidak bilang ‘tidak’, malah melanjutkan dengan arah yang ia jelaskan sebelumnya. Ikkhh..si bapak bikin gemes dehh >.<  

Singkat cerita saya jadi bolak balik berkali-kali keluar masuk gedung fisipol dan lantai parkir, mondar mandir di bapak yang jaga kendaraan, sempat melihat si bapak itu, mimik wajahnya jadi bingung melihat saya selalu muncul tiba-tiba di depannya (emangnya hantu?)  Saya stay cool aja, padahal udah pengen teriak, cuaapekk..! T_T

Untuk kesekian kalinya saya keluar lagi dari gedung fisipol melalui pintu belakang, nengok ke kanan dan Eureka! Gedungnya ketemu! Dan itu berada di samping gedung Fisipol, berada tepat di sebelah kanan gedung.. Aaarrgghhh.. Щ(ºДºщ)

source : http://jogjabiz.com/tugu-jogja-titik-nol-0km-jogjakarta/


Lain lagi ketika saya ingin memesan air galon untuk diantar ke kosan, sebelum saya menelpon pengantar galon, terlebih dahulu saya mengirim sms ke teman yang berbeda kos  untuk nanya kosan saya berada di sebelah mana (eh?) khawatir akan terjadi lagi peristiwa yang sama, ketika saya menelpon taksi dan saya dibuat bingung oleh supir taksinya karena arah mata angin itu. Dan benar ternyata, si pengantar galon seperti orang Jogja kebanyakan, nanya kos saya berada di sebelah mana, dengan mantap saya jawab “Sebelah kiri, arah ke utara kalau dari UGM, Mas! “ hohoho :D

Karena masalah arah mata angin ini, saya jadi ingin sekali mendatangi Mirota Batik yang terletak tidak jauh dari Malioboro, hanya untuk mengambil peta kota Jogja yang diberi cuma-cuma di sana. Begitu saya sampai disana, entah karena dendam kesumat sudah dibuat puyeng dengan per-mataangin-nan ini (halah) saya bukan hanya mengambil satu lembar tapi buaannyak, padahal petanya sama saja.  


Sleman, 13 Maret 2013, 22:30 wib

Kamis, 07 Maret 2013

Penerapan Corporate Social Responsibility di Indonesia


Tahun 2012 lalu  PT. Toyota Astra Motor dianugerahi predikat sebagai The Best in Green Marketing oleh Majalah Marketing sebagai perusahaan terbaik dalam mendukung isu-isu kepedulian terhadap lingkungan. Penghargaan ini melengkapi predikat Toyota sebagai kendaraan rendah emisi dan rendah konsumsi BBM oleh KLH Public Expose Langit Biru di tahun 2011. Juga  Eco Friendly Car oleh Otomotif Award melalui Toyota Prius di tahun 2010. Sebelumnya Toyota juga memperoleh Green Living Achievement oleh Autocar Reader Choice Award di tahu  2009.
            Tiga tahap penilaian telah dilakukan Toyota sehingga mendapat Predikat sebagai The Best in Green Marketing, yaitu tahap nominasi, seleksi, dan penilaian. Rangkaian tahapan tersebut didukung oleh data yang dikumpulkan dari riset, berita dan penghargaan yang telah diraih, laporan tahunan, dan beberapa data pendukung lainnya.
Predikat The Best in Green Marketing menjadi pemacu bagi Toyota untuk konsisten menggerakkan program-program terkait lingkungan. Termasuk melanjutkan program Car For Tree di Toyota Eco Island dan Toyota Eco Youth.
Toyota Car For Tree merupakan  sebuah program peduli lingkungan dari Toyota dengan cara menggunakan sebagian keuntungan dari setiap mobil yang terjual untuk didonasikan kepada lingkungan dalam bentuk pohon, kemudian ditanamkan pada area seluas 15.127 m2 bernama Toyota Eco Island di Ancol Eco Park, Jakarta Utara. Di tahap pertama, sudah lebih dari 500 jenis pohon yang tertanam di area tersebut.
Toyota juga memiliki program lain dalam bentuk kepedulian di bidang lingkungan hidup untuk menanamkan dan meningkatkan kesadaran generasi muda akan lingkungan bernama Toyota Eco Youth Program. Program yang telah diimplementasikan sejak tahun 2005 ini bertujuan untuk menciptakan sekolah sebagai role model untuk pembelajaran lingkungan bagi sekolah-sekolah dan lingkungan di sekitarnya. Ada 5 aspek pengelolaan lingkungan dalam program ini yaitu, Regulasi, Kelembagaan, Partisipasi, Teknologi, dan Pendanaan. Serta semangat Reduce, Reuse, Recycle.

"Toyota will respond to the needs of society and enrich people’s lives through the manufacture of automobiles. And we will never lose sight of our gratitude toward our customers and other stakeholders. Based on that mindset, we will aim to contribute to the building of a new automobile society in the twenty-first century by gathering together the capabilities of our dealers, suppliers, and affiliated companies in a combined effort of the entire Toyota group."

Toyota sendiri telah berkomitmen untuk memberikan kontribusi terhadap lingkungan untuk masa depan yang lebih baik melalui kegiatan mereka yang bertemakan green atau eco dengan aplikasi yang nyata.
Konsep CSR Toyota terinci jelas di website CSR mereka di toyota-global.com. Terdapat beberapa program yang CSR yang mereka lakukan seperti Toyota Social’s Contribution Activity, Enviroment Responsibility, Vehicle Recycling, Toyota’s Forestry, Eco Driving dan beberapa program lingkungan lainnya.
Dari program-program mereka, terlihat Toyota fokus pada isu-isu lingkungan. Sebagai korporat yang menghasilkan produk otomotif yang akan berdampak lingkungan seperti emisi karbondioksida. Dengan teknologi yang dimiliki, Toyota secara konsisten untuk menjaga lingkungan.

 Tanggung jawab
Tanggung jawab yang berkaitan dengan perusahaan dihadapkan dengan dua pemaknaan tanggung jawab itu sendiri. Pertama, tanggung jawab dalam makna responsibility atau tanggung jawab moral atau etis. Kedua, tanggung jawab dalam makna liability atau tanggung jawab yuridis atau hukum.
Tanggung jawab sosial lahir karena tuntutan dari tanggung jawab itu sendiri. Tanggung jawab sosial berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan hukum. Moral dalam tanggung jawab sosial lebih mengarah pada tindakan lahiriah yang didasarkan sepenuhnya dari sikap bathiniah, sikap inilah yang disebut dengan “moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih. Sedangkan tanggung jawab hukum lebih menekankan pada kesesuaian sikap lahiriah dengan aturan, meskipun tindakan tersebut secara obyektif tidak salah.
Bila dikaitkan dengan teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian perusahaan terhadap stakeholders dalam arti luas daripada sekedar kepentingan perusahaan belaka. Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat, dan lingkungan di mana perusahaan tersebut melakukan aktivitas usahanya (Wahyudi dan Azheri,2008)
Secara umum, berbicara mengenai CSR dan Multi National Corporations (MNC) di Indonesia. MNC dalam konteks ini, merupakan sebuah korporat yang meluaskan operasinya melewati batas negara asalnya, dan memiliki kepanjangan tangan,  subsidiary di negara lain. Lazimnya, MNC sering kali dianggap sebagai biang dari segala pencemaran dan perusakan lingkungan. Oleh karena itu MNC itu dapat menjalankan etika bisnis, terutama mendorong pada implementasi CSR tepat sasaran, bahkan bila diperlukan, harus di atas hasil rata-rata perusahaan lain. MNC selalu menjadi sorotan stake holders, apalagi ditambah bahwa sekarang teknologi informasi sudah canggih dan akses informasi sudah bisa mengakses informasi. Maka sejumlah isu dapat diangkat oleh MNC seperti lingkungan, pluralisme, adat istiadat dan kearifan lokal.

Corporate Social Responsibility
Corporate Social Resposibility sebenarnya masih tergolong hal yang baru, yaitu sejak diundangkannya UU No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Melalui undang-undang ini, industri atau koperasi-koperasi wajib untuk melaksanakan CSR, tetapi kewajiban ini bukan suatu beban yang memberatkan. Pembangunan suatu negara bukan hanya tangung jawab pemerintah dan industri saja, tetapi setiap manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat.
Pengertian CSR yang lebih komprehensif adalah dari Prince of Wales International Bussines Forum yang di Indonesia dipromosikan dengan aktif oleh Indonesia Bussines Links (IBL). Ada lima pilar aktivitas CSR :
(1)                               Building human capital yang berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan sumber daya manusia yang handal, sedangkan secara eksternal perusahaan dituntut melakukan pemberdayaan masyarakat.
(2)                               Strengthening economies.Perusahaan dituntut untuk tidak menjadi kaya sendiri sementara komunitasdi lingkungannya miskin. Perusahaan harus memberdayakan ekonominya sekitarnya.
(3)                               Assesing social governence adalah upaya untuk menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitarnya agar tidak menimbulkan konflik.
(4)                               Protecting the environment adalah perusahaan harus berupaya keras menjaga kelestarian lingkungan.

Tantangan yang harus dijawab terkait hal tersebut adalah bagaimana membangun  konsep CSR yang benar-benar efektif dalam menjalankan fungsi sosial, namun tidak melupakan tujuan perusahaan untuk mencari keuntungan. Selain itu, bagaimana membangun konsep CSR yang memiliki dampak positif terhadap peningkatan keuntungan perusahaan, namun bukan berarti semata-mata mencari keuntungan melalui kegiatan sosial sebagai alatnya.
Dari beberapa pilar di atas, dapat dilihat bahwa semakin jelas konsep CSR cakupannya lebih luas daripada sekedar pengembangan komunitas (Community Development) yang cakupannya pada komunitas yang berada di lingkungan sekitar perusahaan. Perbedaan paling mendasar adalah bahwa di dalam CSR, seluruh program yang dijalankan perusahaan berdasarkan aspek ekonomi,sosial dan lingkungan. Kemudian, program yang dijalankan haruslah berjangka panjang atau berkesinambungan. Perusahaan tidak sekedar membagi-bagi kedermawanannya, melainkan berupaya menjaga programnya agar dapat berlangsung secara sustainable.
            Konsep CSR memang sangat berkaitan erat dengan konsep sustainability development (pembangunan yang berkelanjutan). Konsep CSR memiliki arti bahwa selain memiliki tanggung jawab untuk mendatangkan keuntungan bagi para pemegang saham dan untuk menjalankan bisnisnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, suatu perusahaan juga memiliki tanggung jawab moral, etika, dan filantropik. Pandangan tradisional mengenai perusahaan melihat bahwa tanggung jawab utama perusahaan adalah semata-mata terhadap pemiliknya, atau para pemegang saham. Adanya konsep CSR mewajibkan perusahaan untuk memiliki pandangan yang lebih luas yaitu bahwa perusahaan juga memiliki tanggung jawab terhadap pihak-pihak lain seperti karyawan, supplier, konsumen, komunitas setempat, masyarakat secara luas, pemerintah, dan kelompok- kelompok lainnya. Dalam hal ini, jika sebelumnya pijakan tanggung jawab perusahaan hanya terbatas pada sisi finansial saja atau single bottom line, kini dikenal konsep ‘triple bottom line’, yaitu bahwa tanggung jawab perusahaan berpijak pada 3 dasar, yaitu : finansial, sosial dan lingkungan atau yang juga dikenal dengan 3P (profit, people, planet).

Konsep Triple Bottom line (profit, people, planet)
Konsep ini memasukkan tiga ukuran kinerja sekaligus: economic, environmental, social (EES) atau istilah lainnya adalah 3P: “People-Planet-Profit”. Tujuannya  perusahaan tak hanya menjadi “economic animal”, tapi juga entitas yang “socially and environmetally responsible.”
Ide di balik TBL ini tak lain adalah adanya pergeseran paradigma pengelolaan bisnis dari “sharholders-focused” ke “stakeholders-focused”. Dari fokus kepada perolehan laba secara membabi-buta menjadi perhatian pada kepentingan pihak-pihak yang terkait (stakeholder interest) baik langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan. Konsekuensinya, peran dunia bisnis semakin signifikan sebagai alat pemberdaya masyarakat dan pelestari lingkungan.
Konsep triple bottom line sekaligus mencoba menempatkan upaya pemberdayaan masyarakat dan pelestarian lingkungan pada titik sentral dari keseluruhan strategi perusahaan (bukan hanya dandanan atau tempelan semata). Konsep yang pernah ada yaitu : mengumpulkan profit sebanyak-banyaknya, lalu dari profit tersebut, sisihkan sedikit untuk kegiatan sosial dan pelestarian lingkungan. Dengan triple bottom line, maka pendekatannya menjadi berbeda, tidak hanya sekedar mencari keuntungan, namun sejak  awal perusahaan sudah menetapkan bahwa tiga tujuan holistik—economic, environmental, social—tersebut hendak dicapai secara seimbang, serasi, tanpa sedikitpun pilih kasih.

Tabel 1 : Kegiatan Corporate Social Responsibility
NO
Aspek
Muatan
1
Sosial
Pendidikan, pelatihan, kesehatan, perumahan, penguatan kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan karyawan) kesejahteraan sosial, olahraga, pemuda, wanita, agama, kebudayaan dan sebagainya
2
Ekonomi
Kewirausahaan, kelompok usaha bersama/unit makro kecil dan menengah (KUB/UMKM), agrobisnis, pembukaan, lapangan kerja, infrasktruktur ekonomi dan usaha produktif lain.
3
Lingkungan
Penghijauan, reklamasi lahan, pengelolaan air, pelestarian alam, ekowisata penyehatan lingkungan, pengendalian polusi, serta penggunaan produksi dan energi secara efisien

Implementasi Corporate Social Responsibility
Implementasi CSR merupakan keputusan strategis perusahaan yang secara sadar telah di desain sejak awal dengan tujuan menerapkan lingkungan kerja yang sehat, kesejahteraan karyawan, aspek bahan baku dan limbah yang ramah lingkungan, serta semua aspek dalam menjalankan usaha yang menjamin tidak akan ada penerapan praktek-praktek jahat. Dalam lingkup eksternal implementasi CSR harus dapat memperbaiki aspek sosial dan ekonomi pada lingkungan sekitar perusahaan pada khususnya, serta lingkungan masyarakat pada umumnya. Tanggung jawab eksternal ini menjadi kewajiban bersama antar entitas bisnis untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat lewat pembangunan yang berkelanjutan. Maka tidak berlebihan jika CSR dalam sebuah entitas bisnis adalah responsible business is good business. Pembangunan industri sebenarnya memiliki dampak positif dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan produktifitas ekonomi, dan dapat menjadi aset pembangunan nasional maupun daerah. Namun kenyataan selama puluhan tahun praktik bisnis dan industri korporasi Indonesia cenderung memarginalkan masyarakat sekitar, tetap tidak bisa ditampik. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, mengenai permasalahan dan agenda pembangunan, menegaskan bahwa telah terjadi ekses negatif dari pembangunan, yaitu kesenjangan antar golongan pendapatan, antar wilayah dan antar kelompok masyarakat. Masyarakat yang sejak awal telah miskin, kenyataannya semakin termarginalkan dengan kehadiran berbagai jenis korporasi. Korporasi tidak melaksanakan CSR secara baik terhadap masyarakat. Alih-alih melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar dengan melakukan community development, korporasi cenderung membuat jarak dengan masyarakat sekitar. Jika pun ada program yang dilakukan oleh korporasi, biasanya bersifat charity, seperti memberi sumbangan, santunan, sembako, dan lain-lain. Program charity ini menjadi dalih bahwa mereka juga memiliki kepedulian sosial. Dengan konsep charity, kapasitas dan akses masyarakat tidak beranjak dari kondisi semula, tetap marginal. Charity menjadi program yang tidak tepat sasaran karena tidak bisa memutus rantai kemiskinan.
Dipandang dari segi moral hakikat manusia maupun hakikat kegiatan bisnis itu sendiri, diyakini bahwa tidak benar kalau para manajer perusahaan hanya punya tanggung jawab dan kewajiban moral kepada pemegang saham. Para manajer perusahaan sebagai manusia dan sebagai manajer sekaligus mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral kepada orang banyak dan pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan operasi bisnis perusahaan yang dipimpinnya. Para manajer perusahaan mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral untuk memperhatikan hak dan kepentingan karyawan, konsumen, pemasok, penyalur masyarakat setempat dan seterusnya. Singkatnya, tanggung jawab dan kewajiban moral para manajer perusahaan tidak hanya tertuju kepada shareholders (pemegang saham) tetapi juga kepada stakeholders pada umumnya.

CSR di Indonesia
Salah satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering diterapkan di Indonesia adalah community development. Perusahaan yang mengedepankan konsep ini lebih menekankan pembangunan sosial dan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra sebagai perusahaan yang ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari masyarakat sehingga masyarakat merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah mereka akan berguna dan bermanfaat.
CSR bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan akibatnya terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
Debut CSR di Indonesia menguat setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun 2007 yang disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
Implementasi CSR di indonesia dalam praktiknya, memang charity dan community developmentlah yang dikenal lebih dahulu terkait interaksi perusahaan dengan lingkungan sekitarnya. Serta, kebutuhan perusahaan untuk lebih dapat diterima masyarakat. Sementara itu, lebih jauh CSR dapat dimaknai sebagai komitmen dalam menjalankan bisnis dengan memperhatikan aspek sosial, norma-norma dan etika yang berlaku, bukan saja pada lingkungan sekitar, tapi juga pada lingkup internal dan eksternal yang lebih luas. Tidak hanya itu, CSR dalam jangka panjang memiliki kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatnya kesejahteraan.
Memang ada pendekatan yang berbeda-beda terhadap ketentuan dan pelaksanaan CSR. Dari sisi pendekatan, misalnya, ada community based development project yang lebih mengedepankan pembangunan keterampilan dan kemampuan kelompok masyarakat. Ada pula yang fokus pada penyediaan kebutuhan sarana. Dan, yang paling umum adalah memberikan bantuan sosial secara langsung maupun tidak langsung guna membantu perbaikan kesejahteraan masyarakat, baik karena eksternalitas negatif yang ditimbulkan sendiri maupun yang bertujuan sebagai sumbangan sosial semata.
Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini di Indonesia tidak semua perusahaan mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR.
Pertama, kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen sejati, tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan seperti ini,  community development hanya sekedar topeng semata.
Kedua, generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain. Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan cenderung melakukan copy-paste terhadap model CSR yang dianggap mudah dan pastinya menguntungkan perusahaan.
Ketiga, directive. Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
Keempat, lip service. CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan berdasarkan belas kasihan. Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan British American Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai hanya lip service belaka.
Kelima, kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat, berjangka pendek, dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi sosial.
CSR yang ideal memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency, accountability, dan responsibility, secara seimbang dan harmonis Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan.
Mengingat CSR sulit terlihat dengan kasat mata, maka tidak mudah untuk melakukan pengukuran tingkat keberhasilan yang dicapai. Oleh karena itu diperlukan berbagai pendekatan untuk menjadikannya kuantitatif dengan menggunakan pendekatan Triple Bottom Line atau Sustainability Reporting. Dari sisi ekonomi, penggunaan sumber daya alam dapat dihitung dengan akuntansi sumber daya alam, sedangkan pengeluaran dan penghematan biaya lingkungan dapat dihitung dengan menggunakan akuntansi lingkungan.
 Terdapat dua hal yang dapat mendorong perusahaan menerapkan CSR, yaitu bersifat dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam perusahaan (internal drivers). Pendorong dari dalam perusahaan terutama bersumber dari perilaku manajemen dan pemilik perusahaan (stakeholders), termasuk tingkat kepedulian atau tanggung jawab perusahaan untuk membangun masyarakat.

Menyusun Program CSR
DeMartinis Reza (Rahman, 2009) menyebutkan beberapa langkah yang dilakukan oleh perusahaan nonprofit dalam menyusun program CSR, yang merumuskan komunitas, menentukan tujuan, menyusun pesan yang hendak disampaikan, memilih metode penyampaian pesan yang paling efektif, realisasi program, dan analisis hasil atau evaluasi.
1.      Merumuskan komunitas organisasi
Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam merumuskan komunitas guna menyusun program CSR :
ü  Menyusun pembatasan kategori masyarakat lokal.
ü  Mengidentifikasi norma, adat, nilai, dan hukum setempat
ü  Mengidentifikasi pemuka pendapat yang berpengaruh
ü  Memilih komunitas primer dan sekunder
2.      Menentukan tujuan
Pertimbangan dalam menentukan tujuan, dapat dimulai dari data temuan yang diperoleh dari lapangan (terkait dengan need, desires, wants, dan juga interest komunitas) kemudian diformulasikan menjadi sebuah tujuan dari program CSR.
3.      Menyusun pesan yang hendak disampaikan
Program CSR mengandung sejumlah isu yang menjadi fokus kegiatannya, maka perlu disampaikan kepada khalayak. Isu inilah yang menjadi pesan dalam program CSR.


4.      Memilih Metode Penyampaian Pesan
Pemilihan metode merupakan sebuah tahapan eksekusi dari mekanisme pemilihan pesan. Cara penyampaian pesan haruslah selaras dengan kemampuan konstituen dalam memahami pesan.
5.      Realisasi Program
Realisasi dar sejumlah perencanaan yang dilakukan merupakan tahap berikutnya. Menjalankan sejumlah aktivitas dan isu yang telah disepakati, merupakan hal yang wajib dilakukan.
6.      Analisis hasil atau evaluasi
Evaluasi haruslah selalu dilakukan untuk mengetahui efektivitas dan tingkat keberhasilan program CSR yang dijalankan. Hasil evaluasi ini merupakan masukan bagi perencanaan dan realisasi program berikutnya.
Agar CSR bisa berkelanjutan, maka perusahaan harus sehat terlebih dulu. Jika sebuah perusahaan tidak sehat, maka dia tidak bisa melakukan CSR dengan maksimal.  Perusahaan yang sehat dan tumbuh, karyawan dan masyarakat sekitar juga ikut tumbuh.
Dalam menjalankan kegiatan bisnis, perusahaan harus selalu memperhatikan aspek lingkungan yang juga menjadi salah satu konsep suistanable development.
Program yang dibuat oleh perusahaan harus benar-benar merupakan komitmen bersama dari segenap unsur yang ada di dalam perusahaan. Tanpa adanya dukungan semua elemen, maka program CSR tersebut seolah bentuk penebusan dosa dari pemegang saham belaka. Melakukan kegiatan CSR yang berkelanjutan, akan memberikan dampak positif dan manfaat yang lebih besar, baik bagi perusahaan maupun stakeholder yang terkait.


Referensi

Argenti P, Paul. 2006. Corporate Communication. New York. McGraw. Hill International Edition.

Elkington, Jhon. 1997.  Cannibals with Forks,The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business. UK. Capstone Publishing Ltd, Oxford.

Jim Ife, 2001. Community Development: Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Australia. Pearson Education Australia.
Magee, David. 2008. How Toyota Became #1. Jakarta. PT Gramedia Pustaka Utama.

Rahman, Reza. 2009. Corporate Social Responsibility:Antara Teori dan Kenyataan. Yogyakarta. Media Pressindo.

Wahyudi, Isa dan Busyra Azheri. 2008. Corporate Social Responsibility : Prinsip, Pengaturan, dan Implementasi. Malang. In-Trans Publishing


Undang-Undang
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Link
Anonim. 2012. Toyota Raih The Best in Green Marketing. onlinehttp://www.gatra.com/carsplus-domestik/20261-toyota-raih-the-best-in-green-marketing.html diakses pada 12 Januari 2012










Akio Toyoda, President of Toyota Motor Corporation

Media Massa Sebagai Sebuah Industri : Komodifikasi Konten Hiburan di Media Massa (Part 2)


Komoditas-komoditas Budaya : Televisi Sebagai Industri Budaya

Dalam konteks media massa yang kapitalis sebagai media yang berorientasi pasar sangat memegang peranan dan menjadi saluran utama memopulerkan budaya baru atau budaya pop kepada masyarakat. Budaya pop merupakan suatu bentuk budaya yang terbentuk akibat adanya suatu realitas yang terkonstruksi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu identitas tertentu di mana dengan adanya identitas tersebut manusia dapat menguasai dan merekonstruksi pikiran orang lain dengan menanamkan berbagai macam ideologi yang dimilikinya demi kepentingan individu dan golongan tertentu. Tentunya individu yang sanggup melakukan hal tersebut hanyalah individu atau golongan yang menguasai faktor produksi yang ada dan dapat mengendalikan media.

 Budaya pop yang muncul tersebut tidak dapat lepas dari sarana utama yang digunakannya, yaitu media massa. Dalam kajian budaya, media massa merupakan salah satu saluran utama penyebaran ideologi dari kaum-kaum tertentu. Oleh karena itu penyebaran tersebut dapat disebut juga sebagai budaya media di mana menghegemoni masyarakat untuk satu dalam suatu dunia tanpa batas ruang dan waktu (globalisasi).
Televisi sebagai contoh paradigma industri budaya dan menelusuri produksi dan distribusi komoditas-komoditas atau teks-teksnya dalam dua perekonomian yang sejajar dan semi otonom, yang biasa disebut perekonomian finansial yang mengedarkan kemakmuran dalam dua subsistem) dan perekonomian budaya yang mengendarkan makna dan kepuasan). Dengan demikian kedua perekonomian tersebut dijelaskan sebagai berikut (Fiske, 2011: 28)


Perekonomian Finansial         Perekonomian Budaya

                                    I                                   II
Produsen         studi Produksi              progam                                              audiens
                                                                
Komoditas       program                      audiens                                              makna/kepuasan

Konsumen       distributor                   pengiklan                                            makna/Kepuasan itu sendiri

Studio produksi menghasilkan komoditas, program, dan menjualnya kepada distributor, jaringan radio atau televisi kabel untuk mendapatkan keuntungan. Hal ini adalah pertukaran finansial sederhana yang berlaku bagi semua komoditas. Namun, hal ini bukan akhir dari permasalahan, karena program televisi, atau komoditas budaya, tidak sama dengan komoditas material seperti pakaian dan furniture. Fungsi ekonomi program televisi belum lengkap ketika dijual, karena dalam momen konsumsinya hal tersebut berubah menjadi produsen, dan yang diproduksinya adalah audiens, yang kemudian dijual kepada pengiklan.
Bagi banyak orang, produk yang paling penting dalam industri budaya adalah audiens yang terkomodifikasi, yang nantinya akan dijual kepada pada pengiklan. (Smythe dalam Fiske, 2011:29) menyatakan kapitalisme telah memperluas kekuasannya dari ranah kerja ke dalam ranah waktu luang. Akibatnya, menonton televisi berarti ikut serta dalam komodifikasi masyarakat, dan bekerja sama kerasnya seperti halnya pekerja di lini perakitan bagi kepentingan kapitalisme komoditas. Argumen ini tetap mengacu pada pada logika bahwa basis ekonomi masyarakat yang dapat menjelaskan makna-makna atau ideologi-ideologi yang secara mekanistis ditentukan oleh basis tersebut.  

Semua komoditas bagi masyarakat konsumen memiliki nilai budaya serta nilai fungsional. Ideologi perekonomian perlu diperluas untuk menjelaskan hal tersebut. Ideologi perekonomian mencakup budaya di mana sirkulasinya bukan merupakan sirkulasi uang, tetapi sirkulasi makna dan kepuasaan. Di sini audiens yang tadinya menjadi komoditas kemudian menjadi produsen makna dan kepuasan. Komoditas mula-mula (apakah itu program televisi atau celana jeans) dalam perekonomian budaya adalah teks, struktur wacana, pelbagai kepuasan dan makna potensial yang membentuk sumber utama budaya populer. Dalam perekonomian ini tidak ada konsumen, hanya ada pengedar makna, karena makna merupakan satu-satunya unsur dalam proses tersebut yang tidak dapat dikomodifikasi atau dikonsumsi : makna dapat diproduksi, direproduksi, dan disirkulasikan hanya dalam proses yang berlangsung terus menerus yang dinamakan budaya. 

Logika Media


Altheide dan Snow (dalam McQuail, 2011:68) yang pertama kali menggunakan istilah logika media (media logic) untuk menangkap sifat alami sistem defenisi yang telah ada sebelumnya dari jenis konten yang semacam apa untuk konten yang bagaimana. Kerja logika media melibatkan eksistensi ‘tata bahasa media’ yang mengatur hubungan bagaimana waktu sebaiknya digunakan, bagaimana konten seharusnya diurutkan dan alat apa dari konten verbal dan nonverbal yang sebaiknya digunakan. Banyak elemen dari logika media berasal dari model penarik-perhatian atau publisitas. Bagaimanapun terdapat kontribusi yang mandiri yang diambil dari profesionalisme media, terutama ketika didefenisikan dalam istilah pembuatan televisi yang ‘bagus’, film dan seterusnya. Media merupakan instrumen utama untuk memproduksi ketenaran dan selebritas, baik dalam politik, olahraga atau hiburan dan mereka juga terpesona karenanya. Hal ini seringkali pula muncul sebagai sumber utama dan juga kriteria nilai, ketika diterapkan kepada orang-orang, produk, atau pertunjukkan. Salah satu tenaga penggerak dari logika media adalah penemuan sumber baru atau objek yang terkenal.Jika dikaitkan dengan dengan konten informasi, logika media menempatkan kedekatan sebagai hal yang istimewa, misalnya film atau foto ilustratif yang dramatis dalam tempo yang cepat dan komentar yang singkat (Hallin dalam McQuail, 2011:69)

Lebih lanjut lagi Mc Quail menyimpulkan prinsip-prinsip utama logika media adalah Kebaruan, kedekatan, tempo yang tinggi, personalisasi, singkat, konflik, dramatisasi, orientasi pada pesohor.
Sehubungan dengan kapitalisme media massa, logika media adalah bagaimana proses produksi media menghasilkan keuntungan. Croteau dan Hoynes (2003:58) menyatakan di dalam sebuah sistem kapitalis, media massa fokus pada satu tujuan yaitu kreasi produk yang akan menghasilkan keuntungan finansial. Orientasi laba ini merupakan penjelasan sosiologis media massa. Bagaimanapun juga mereka menyediakan konten di dalam sebuah media yang mana personil medianya yang memutuskan konten apa yang akan ditunjukkan.

Todd Gitlin’s dalam Croteau dan Hoynes (2003:58) menyatakan bahwa salah satu perlakuan sensitif bagaimana orientasi laba mempengaruhi produksi media adalah dalam analisis jaringan televisi. Dalam Prime Time, Gitlin mengeksplor proses pembuatan keputusan di tiga jaringan utama, menunjukkan bahwa orientasi laba yang kemudian menetapkan kerangka kerja untuk pengambilan keputusan pemrograman. Tujuannya agar eksekutif jaringan keuntungan tetap stabil. Eksekutif akan mencapai keuntungan karena program siaran yang akan menarik audiens yang lebih besar, menyebabkan waktu penjualan dari iklan dengan harga premium.

Sebagai contoh dalam bagian untuk mendapatkan keuntungan yang stabil, jaringan program mengikuti apa yang dinamakan dengan “logic of safety” yang akan meminimalisir resiko kehilangan keuntungan program tersebut. Program yang beresiko akan membuat audiens tidak tertarik bahkan yang paling parah adalah para pengiklan. Para pekerja media harus terus berusaha agar program yang mereka buat untuk bisa membuat keuntungan yang besar.

Selain format di media, Altheide dan Snow menyatakan grammar juga termasuk di dalam logika media (Siapera, 2010: 81) Jika media format (genre) di dalamnya adalah aturan-aturan untuk mendefiniskan, menyeleksi, mengorganisir, dan mengenali  informasi, maka grammar disini mengacu pada cara di mana bahan dan produk media yang berbeda diletakkan bersama-sama, jenis urutan yang mereka ikuti dan hubungan antara mereka. Kesemua dari elemen ini merupakan cara yang berbeda untuk menyerap (membangun) dunia. Menurut Altheide (dalam Siapera, 2010:81) organisasi media menggunakan logika ini secara luas dengan hasil bahwa mereka mentransform setiap aspek atau isu yang  dikelola dengan cara yang kompatibel untuk logika media.Untuk memahami posisi media massa dalam sistem kapitalis, terlebih dahulu harus dipahami asumsi-asumsi dasar media yang melatar belakangi media massa. Pertama, institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi, dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna tantang pengalaman dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini media massa memiliki posisi yang begitu penting dalam proses transformasi pengetahuan.

Kedua ialah media massa memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Media massa menyelenggarakan kegiatannya dalam lingkungan publik. Pada dasarnya media massa dapat dijangkau oleh segenap anggota masyarakat secara luas.Menurut McQuail (1987:40 ) salah satu ciri-ciri institusi media massa adalah institusi media dikaitkan dengan industri pasar, karena ketergantungan pada imbalan kerja, teknologi, dan kebutuhan pembiayaan. Dalam hal ini industri pasar dapat diartikan dengan kapitalisme.Sistem kapitalis sebagai sistem yang dominan, baik di negara maju dan berkembang, mengalami suatu perkembangan yang amat pesat dengan segala konsekuensinya. Secara umum, seperti yang dialami negara-negara kapitalis, sistem kapitalis modern pada dasarnya mengandung kontradiksi-kontradiksi internal yang menyangkut peran media.

Media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalis yang berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal. Karena media massa harus berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, ia harus berusaha untuk meyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar, antara lain informasi politik dan ekonomi. Di lain pihak media massa juga sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara.
Contohnya, pada masa Orde Baru media massa menjadi agen hegemoni dan alat propaganda pemerintah.

Ciri-ciri khusus institusi media massa. Pertama, memproduksi dan mendistribusi pengetahuan dalam wujud informasi, pandangan, dan budaya upaya tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu. Kedua, menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang lain, dari pengirim ke penerima, dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya. Ketiga, media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan publik. Keempat, partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakikatnya bersifat sukarela tanpa adanya keharusan yang atau kewajiban sosial. Kelima, institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada imbalan kerja, teknologi, dan kebutuhan pembiayaan. Kelima, meskipun institusi media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, tapi institusi ini selalu berkaitan dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media dengan mekanisme hukum.

Di antara ciri-ciri media massa tersebut, yang erat sekali hubungannya dengan topik pembahasan ini adalah keterikatan media massa dengan industri pasar secara lebih luas dengan sistem kapitalis dan kapitalisme. Sistem kapitalis sebagai sistem yang dominan, baik di negara maju maupun berkembang mengalami suatu perkembangan yang amat pesat dengan segala konsekuensinya. Bahasan tentang konsekuensi sistem kapitalisme terhadap media massa tidak lepas dari industri media massa itu sendiri dan prospek kebebasannya. Media massa berkembang di antara titik tolak kepentingan masyarakat dan negara sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan modal dan kekuasaan.

NEnt (Need for Entertainment)
[It] is not that television is entertaining but that it has made entertainment itself the natural format for the representation of all experience. The problem is not that television presents us with entertaining subject matter but that all subject matter is presented as entertaining.
(Neil Postman, Amusing Ourselves to Death)

Membahas industri media dan komodifikasi  terutama di televisi, tidak bisa lepas dari peran audiens yang menjadi ‘korban’ dari komodifikasi hiburan di media massa. Bahkan yang sudah di bahas di sebelumnya, Mc Quail sendiri mengatakan jika audiens juga dijadikan komoditas kepada pihak pengiklan. Semakin banyak audiens, maka pengiklan semakin tertarik dan berani membayar mahal.

Manusia butuh hiburan. Klaim Neil Postman  (Shrum, 2010:345) mengamsumsikan bahwa tren untuk menyajikan “semua pokok bahasan sebagai hiburan” tumbuh dari cara pemrosesan informasi yang berubah pada diri penerima individual.  Media hiburan telah semakin menjadi saluran yang mendorong persuasivitas narasi-narasi publik (Green dan Brock dalam Shrum, 2010: 346) . Jika orang memang berbeda dalam dorongannya terhadap media hiburan, maka kemungkinan besar mereka yang lebih sering mencari hiburan bisa jadi lebih rentan terhadap narasi-narasi publik yang sering membentuk persuasi media. Proses-proses penerimaan pesan bisa jadi difasilitasi oleh NEnt:Pemberian tempat bagi pesan persuasif di dalam sebuah narasi fiksional. Hal ini dapat memiliki dampak deferensial tergantung besarnya disposisi penerimaan untuk mencari dan mengonsumsi hiburan. NEnt tidak hanya memoderasi dampak pesan dalam konteks hiburan tetapi juga menimbulkan ketergantungan yang mirip kecanduan, dan dapat menganggu tujuan utama fungsi sosial lain, seperti edukasi.

Penulis Timothy C Brock dan Stephen D. Livingston dari Ohio University (Shrum, 2010: 348) berpendapat, bahwa orang yang memiliki NEnt yang tinggi  bisa jadi lebih rentan kepada pembudakan adiktif oleh bentuk-bentuk hiburan yang pasif seperti televisi.  Hiburan merupakan industri media paling besar dan paling cepat berkembang dan bahwa upaya-upaya komersial, agar dapat berhasil harus mampu menghibur dan juga menjalankan fungsinya yang lain. Singhal dan Rogers (Shrum, 2010: 366) menyatakan belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah bagaimana hiburan begitu siap untuk diakses oleh banyak orang dengan waktu luang yang begitu banyak. 

Bisnis media merupakan bisnis yang begitu seksi, begitu menggiurkan sehingga menjadi lahan untuk mengeruk keuntungan. Kemudahannya untuk diakses dan bahkan dapat dinikmati dari berbagai kalangan membuat industri media tumbuh subur.  Komodifikasi konten hiburan di media massa tentu menjadi bahan jualan yang laku yang mana disebabkan oleh kebutuhan akan hiburan yang cukup besar.


Referensi

Croteasu, David dan William Hoynes. 2003. Media Society 3rd Edition. USA. Sage Publication.

Devereux, Eoin. 2003. Understanding The Media. USA. Sage Publication.
Doyle, Gillian. 2002. Media Ownership. USA. Sage Publication.
Fiske, John. 2011. Memahami Budaya Populer. Yogyakarta. Jalasutra. 
Fortunato, John A. 2005. Making Media Content. London. Lawrence Erlabum Associates Publishers.

Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media. Yogyakarta. Jalasutra. 
McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa. Jakarta. Erlangga.
_______. 2011. Teori Komunikasi Massa Edisi 6 buku 1. Jakarta. Salemba Humanika.
_______. 2011. Teori Komunikasi Massa Edisi 6 buku 2. Jakarta. Salemba Humanika.
Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication 2nd Editon. USA. Sage Publication.

Rivers, William L & Jay W. Jensen. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern Edisi 2. Jakarta. Prenada Media.

Shrum, L.J. 2010. Psikologi Media Entertainment. Yogyakarta. Jalasutra. 
Siapera, Eugenia. 2010. Cultural Diversity and Global Media. UK. Wiley-Black Well Publication.

Stanley J. Baran & Dennis K. Davis. 2000. Mass Communication Theory: Foundation, Ferment, and Future ed. 2nd. USA. Wadsworth.