Pages

Senin, 26 Agustus 2013

Sampah Visual dan Vandalisme Politik

Jika anda memasuki kawasan Perumahan Bumi Tamalanrea Permai (BTP), ada sebuah pemandangan yang sangat mengganggu mata jika anda menyadarinya. Sejak dari pintu gerbang hingga masuk ke lebih dalam pemukiman tersebut, ada keadaan kumuh yang kerap terjadi setiap menjelang pemilu. Sebuah ironi karena perumahan terbesar di Indonesia timur itu dikelilingi bangunan rumah toko yang bertingkat, beberapa diantaranya terlihat mewah. Kekumuhan yang terjadi di kompleks perumahan ini memang karena banyaknya sampah visual yang ‘mencemari’ pemandangan. Sampah yang dimaksud di sini adalah  poster, banner dan baliho para caleg yang mendominasi jalanan sepanjang jalan poros BTP. Dari semua pohon dan tiang listrik yang ada, tidak ada satupun yang terlewati sejumlah sampah visual. Tidak hanya itu, kesemrawutannya tersebar dimana-mana, ‘korban’ yang lainnya adalah tiang telepon, tiang lampu penerangan jalan, bahkan beberapa baliho telah rusak mungkin dikarenakan oleh tangan-tangan jahil atau diterpa angin dan didiamkan begitu saja di pinggir jalan.

Perumahan BTP  mungkin bukan satu-satunya tempat bertebarannya sampah visual, namun sebagai salah seorang warganya, pemandangan kumuh karena iklan-iklan politik ini sangat mengganggu sekaligus membuat kesal karena diletakkan tidak sebagaimana mestinya. Beberapa ruas jalan di kota Makassar pun juga menjadi korbannya. Banyak pohon-pohon dipaku untuk memasang banner, jembatan dan pagar-pagar gedung perkantoran pun ditempeli banyak poster-poster.  Sungguh mengerikan.

Iklan politik mendominasi ruang publik bukan hal yang baru, bahkan sebahagian masyarakat  sudah kebal dan tanpa sadar akhirnya mengabaikan, hidup terbiasa dengan ruang publik yang menjadi tempat sampah bagi sejumlah iklan komersial, maupun iklan politik yang dipasang tidak pada tempatnya.  Pesan tunggal bentuk verbal-visual yang ditampilkan oleh semua iklan politik lewat senyuman lebar, tatapan tajam yang serius, gaya menelungkupkan kedua telapak tangan di depan dada, gaya tatapan menerawang, gambar diri yang gagah, yang cantik, kental akan kedaerahan, adat dan budaya atau nasionalisme. Pada intinya, yang ingin disampaikan oleh mereka adalahPilihlah saya dengan nomor urut sekian”.

Perilaku vandalisme
Perilaku narsis sebagai model kampanye yang menjajah dan merusak ruang publik dengan memaku batang pohon, menyandarkan baliho yang besar sehingga menutupi beberapa rambu lalu lintas, jelas-jelas mendzalimi pohon dan masyarakat, apalagi jika dilakukan tanpa seizin warga setempat. Sudah tidak ada lagi kenyamanan di ruang publik,  terusik oleh kehadiran iklan politik yang tidak sesuai tempatnya. Keteduhan pohon hijau segera berganti dengan kesemrawutan hutan reklame di setiap sudut dan ruang publik. Bukan tidak mungkin jika hujan dan angin kencang datang, sampah-sampah visual politik itu berpotensi bencana bagi warga sekitar.

Iklan-iklan kampanye politik yang membanjiri ruang publik, sepertinya tidak berpedoman lagi pada moralitas, kearifan, ekologi visual dan lingkungan hidup. Tetapi kemudian menjadi pongah dalam simbolilasi tanpa makna dan tanpa mampu mengkomunikasikan visi misinya secara proporsional, persuasif dan komunikatif.  Para kandidat tersebut kekurangan atau mungkin tidak mempunyai ide segar dan kreatif dalam memilih media lain dan non mainstream untuk ‘menjual’ diri mereka, selain merusaki lingkungan dengan terus-terusan memperbanyak sampah visual.

Vandalime yang mereka lakukan dapat dikatakan menjadi sebuah bagian dari kegagalan dalam memadukan simbol sebagai visual dengan akar masalah yang ingin dibangun. Akibatnya, kekumuhan muncul dengan berbagai gambar di pohon-pohon, jembatan, dinding gedung perkantoran. Sebuah pemandangan yang tentu saja sangat ‘memekakkan’ mata, bahkan hati dan pikiran.

Teror Visual
Iklan luar ruang menjadi pilihan paling populer bagi para kandidat tersebut, apalagi kalau bukan karena iklan luar ruang lebih murah daripada beriklan di media mainstream, apalagi mudah terlihat langsung oleh orang-orang yang melintas.

Bukanlah hal yang berlebihan ketika sampah visual ini yang kemudian apa yang disebut oleh Sumbo Tinarbuko, seorang pemerhati budaya visual sekaligus aktivis reresik sampah visual (sebuah komunitas di Yogyakarta yang menjaga ruang publik mereka dengan kegiatan mencabut iklan luar ruang yang menjadi sampah visual) sebagai suatu teror visual yang semakin lama, semakin horor. Menurutnya masalah sampah visual diakibatkan karena egoisme dari beberapa pihak; Pemerintah yang belum membuat masterplan iklan luar ruang; biro iklan dan tukang pasang iklan berburu tempat strategis untuk memasang iklan luar ruang agar target marketing komunikasinya cepat tercapai,  penegak hukum yang tidak begitu tegas dalam menindak para pelanggaran pemasangan iklan luar ruang. Sanksi hukum yang ada tidak dijalankan secara maksimal; dan yang terakhir adalah sebahagian masyarakat kita menganggap sampah visual adalah hal yang biasa. Masih banyak orang yang tidak merasa risih dengan kehadiran sampah visual ini dan mereka hidup bersamanya.

Teror visual ini tentu saja meneror orang-orang yang risih dan peduli akan lingkungan mereka, dan ketika menjelang pemilu, teror visul ini semakin menakutkan. Seandainya saja  pemasangan iklan-iklan politik ini ditempatkan dengan baik dan tidak menyalahi aturan. Seharusnya iklan poster dan banner tidak boleh dipasang pada lima tempat yaitu: yang pertama taman kota, trotoar atau ruang terbuka hijau, yang kedua rambu lalu lintas, tiang listrik, lampu penerangan, yang ke tiga adalah di jembatan, ke empat adalah di dinding-dinding atau bangunan bersejarah dan yang kelima adalah dipakukan di pohon.

Membahas sampah visual tidak akan ada habisnya, ketika pemilu usai maka akan berganti dengan sampah visual iklan-iklan komersial. Yang paling mungkin bisa dilakukan saat ini dari pihak pemerintah adalah adanya pengawasan DPRD Makassar, termasuk intens memantau lokasi mana saja yang banyak terdapat reklame ilegal guna mencegah semakin semrawutnya reklame. Tidak hanya di ruas jalan kota besar saja yang perlu diperhatikan dan diawasi karena jika tidak ditertibakan, maka bisa saja sampah visual terutama baliho yang berukuran besar bisa membahayakan keselamatan para pengguna jalan atau warga sekitar.

Perlu adanya kesadaran dari masyarakat yang paham bahwa ruang publik mereka tidak boleh dijajah oleh iklan yang tidak jelas tempatnya, pohon-pohon tidak boleh dijadikan media untuk memasang iklan luar ruang dan mata mereka tidak bisa diganggu dengan keberadaan sampah visual.

Sebagai masyarakat, kita perlu berhati-hati dalam menentukan siapa yang layak untuk memimpin. Tidak terjebak oleh pemyampaian pesan verbal dan visual kampanye semata. Foto dan janji yang besar-besar itu bukanlah apa-apa jika tidak dibarengi dengan kerja nyata untuk mensejahterakan rakyat.

Dan yang terakhir walau kecil kemungkinannya adalah kesadaran para kandidat dan semua pihak yang terkait dengan para kandidat ini,  baik itu tim sukses, pihak biro iklan dan tukang pasang iklan untuk tidak sekedar mengejar target maketing komunikasinya agar bisa terpilih dengan melakukan tindakan vandalisme merusaki lingkungan dan ruang publik yaitu menaruh iklan politiknya di sembarangan tempat.

Beriklan, menyampaikan pendapat atau aspirasi melalui media luar ruang bukanlah hal yang salah selama tidak menyalahi aturan atau sesuai dengan peruntukkannya. Mari memilih para pemimpin yang peduli lingkungan dan yang konsisten terhadapnya. Konsisten sejak menjadi kandidat hingga menjadi wakil rakyat yang terpilih. Para calon pemimpin kita pastilah orang cerdas dan terpelajar sehingga perbuatan mereka tidak akan keluar dari jalur keadilan, termasuk adil terhadap lingkungan yang kita tinggali bersama. Seperti yang dikatakan oleh Pramoedya Ananta Toer, di bukunya yang berjudul Bumi Manusia, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”.

Makassar, 25 Agustus 2013










Jumat, 23 Agustus 2013

Goosebump

          
Serial Goosebump
salah satu serial Goosebump

Generasi 90-an dan penyuka cerita horor pasti tidak asing dengan novel di atas. Goosebump atau dalam bahasa Indonesia artinya, merinding.  Inilah novel fiksi horor yang suksesnya mendunia karangan Robert Lawrence Stine atau lebih dikenal dengan R.L. Stine. Ia disamakan dengan pengarang terkenal, Stephen King, tapi spesialis dalam bacaan anak-anak.  

R.L. Stine
Goosebump sudah terjual lebih dari 300 juta eksemplar di seluruh dunia. Mulai diterbitkan dari tahun 1992-1997 dan diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa termasuk Indonesia. Yang paling saya sukai dan juga menjadi karakter dari novel ini adalah endingnya yang twist alias tidak bisa ditebak. Setelah membaca, saya biasanya langsung mikir, “Kok? Kok? Bisa begitu?? Tidaak..!” heheh..lebay yah :D. Novel ini menemani (halah) masa-masa SMP. Goosebump dulunya sangat terkenal di kalangan siswa di sekolah saya, yang menjadi keuntungan buat kami adalah kami bisa bertukaran serial goosebump yang belum kami baca tanpa harus menyewa lagi, heheh..

Gara-gara fenomena Goosebump ini kami lebih banyak menghabiskan waktu istirahat di kelas untuk menghabiskan membaca serial Goosebump, karena benar-benar membuat ketagihan. Saking ketagihannya, saya sering bertukar tempat duduk dengan teman saya yang berada di bangku belakang agar saya bisa duduk di tempatnya untuk melanjutkan membaca Goosebump, apalagi kalau gurunya membosankan dan tidak sangar, saya akan mengambil kesempatan ini (aduh, jaman jahiliyah, adek-adek jangan ditiru ya :D) ketika menyelesaikan membaca, saya sering bersyukur tidak hidup di dalam cerita horor yang dibuat oleh Stine, soalnya novelnya ini benar-benar bikin takut (tapi bikin ketagihan baca) sehari saya bisa menghabiskan 2-3 serialnya, termasuk serial Fear Street, ini juga novel fiksi horor dari R.L. Stine, tapi segmentasi pembacanya adalah remaja, di postingan lain akan saya bahas.  

Salah satu serial Fear Street
Beberapa judul yang saya masih ingat pernah baca adalah Welcome to Camp Nightmare, Stay Out of the Basement, Ghost Camp, Werewolf Skin, Let's Get Invisible, Welcome To Dead House dan masih ada beberapa yang judulnya sudah lupa tapi saya masih ingat ending ceritanya yang twist itu. Endingnya yang tidak terduga itu yang terus bikin nempel di kepala, kadang suka kesal juga kalau ending-nya tidak sesuai dengan keinginan saya, heheh.   


Oh iyah, namanya juga media kalau keseringan ‘dikonsumsi’ biasanya berdampak sama kehidupan kita. Karena masa-masa SMP saya lebih banyak baca novel horor akhirnya mau melakukan sesuatu jadi parno alias paranoid sendiri. Khawatir buka lemari pakaian, takutnya tiba-tiba ada monster tanpa kepala keluar dari lemari saya, setiap mau tidur tidak lupa mengecek kolong tempat tidur, khawatir jika tengah malam tiba ada sesosok mahluk jadi-jadian ‘hidup’ di bawah tempat tidur dan keluar untuk mencekik leher ketika saya sedang tertidur, atau malam hari tiba-tiba manusia serigala muncul di depan jendela kamar saya. Ada-adaa aja.. x_x  


Makassar.  23 Agustus 2013