Pages

Sabtu, 17 November 2012

Live Your Life!


Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku sengaja mendongakkan wajahku menantang hujan yang turun. Aku juga tidak ingat kapan terakhir  kali aku  mensengajakan diriku dibasuh hujan, tapi aku ingat terakhir kali aku merasa senang melakukannya. Ketika masih SD. Yah, anak kecil sudah pasti suka dengan acara ritual mandi hujan. Masa kecil dengan ritual tersebut, pelengkap kebahagiaan anak-anak. Ya kan? :D 

Hal itu kurasakan lagi kemarin. Bermandikan hujan, sengaja menatap sambil menantang langit agar titik-titik hujan itu menerjang wajahku. Berada di atas mobil open cup yang berjalan kencang  dengan pemandangan sawah di kanan dan kiri jalan. Dikelilingi canda tawa sahabat-sahabat dan orang-orang yang berasal dari berbagai tempat yang jauh. Kami tak mengenal satu sama lain, tapi suasana terasa cair saat itu. Sederhana memang, tapi kesederhanaan ini membahagiakan. Lebih baik daripada janji-janji indah yang berlebihan, namun mengecewakan.



Bukan untuk mengenang kejadian masa lalu yang pernah membuat hati  bersedih. Jika menarik kembali masa itu dan mengingat anugerah yang kudapatkan sekarang, rasanya aku bersyukur aku pernah mengalami masa-masa  itu. Aku tak pernah cukup mengucapkan rasa syukur ku walau beribu-ribu kali pada-Nya. Bahkan, aku ingin berterima kasih pada orang yang telah mendzolimiku, tanpanya aku mungkin tak pernah sadar, ada dunia luar yang begiiitu indah memanggil-manggil, ketika aku memutuskan untuk berhenti mempercayai pembohong. Yang membuat dunia ini seolah-olah indah, namun ternyata kenyataan yang ada, malah sebaliknya. Thank God, You Wake Me Up Just In Time, Before It's Too Late! 


Tidak mungkin kau disedihkan, tanpa kemudian dibahagiakan.

Aku  tahu dengan pasti, jika dulu aku masih berada di area nyamanku, jika dulu aku terpancing dan terbuai dengan janji-janji semu,jika dulu aku bersikukuh ingin berada bersama dengan orang yang hanya membuatku sedih, jika dulu tidak tersakiti, aku takkan pernah sungguh-sungguh memutuskan untuk berada disini!  


Live your Life!


Itu yang kulakukan sekarang! Allah memang punya kejutan dan caranya sendiri di setiap langkah hidup manusia. Dan ketahuilah, itu akan berakhir bahagia, karena jika tidak, itu bukanlah akhir.




Sleman, 17 November 23:08 WIB


Thank You Allah :*


Sabtu, 10 November 2012

Sahabat Kecil



Silvia Ramdini Sari. Nama yang bagus sekali. Pemilliknya adalah seorang anak perempuan cantik, berkulit putih susu. Poni selalu menghiasi wajahnya yang imut-imut itu. Kadang rambutnya yang panjang diikat atau diurai begitu saja.  Aku suka ketika, ia tersenyum, memperlihatkan jelas dua gigi kelincinya, menambah kesan imut pada wajahnya. Lucu. Kelucuan yang tidak membosankan.
Nama ini pula  yang sejak beberapa tahun lalu kucari-cari di mesin pencari google. Klik sana, klik sini, hasilnya tidak menjawab pertanyaanku. Memang, aku pernah menemukan namanya. Saat itu aku sempat membaca, seorang mahasiswi yang bernama Silvia Ramdini Sari, meminta bantuan keuangan untuk biaya kuliahnya, tapi aku tidak tahu, apakah mahasiswi ini adalah Silvia yang aku cari. Aku juga tidak menemukan fotonya.  Dan sampai hari ini, pertanyaanku, dia ada dimana, belum terjawab.

Ada kisah menarik bersamanya. Kisah masa lalu, saat kami masih kanak-kanak. Kisah anak-anak kebanyakan. Tapi bukankah kisah masa kecil adalah kisah yang paling indah yang pernah dijalani seseorang dalam hidupnya. Yah, terkecuali bagi anak-anak yang harus mengorbankan masa kanak-kanaknya untuk banting tulang membantu keluarganya yang tidak mampu. Semoga kelak, masa kecil mereka yang menderita itu, kelak terbayar dengan tercapainya impian indah mereka. Aamiin. 

Silvia Ramdini Sari. Sering kupanggil ia Pia, walau teman-teman sering bercanda dengan menyebut nama panggilannya seperti nama jenis kue. Jika mengingat namanya yang bagus itu, selalu membuatku terlempar ke masa lalu di sebuah lapangan bola sederhana, tidak berumput dengan tanah coklat yang gundul. Tempat warga mengadakan hajatan di kampung kami, tempat anak-anak bermain apa saja. Di pinggir lapangan itu ada sebuah pohon mangga raksasa yang kadang kami takuti, namun ketika tiba saatnya berbuah, pohon itu seakan “membujuk” kami untuk memetik buhanya. Seakan-akan ingin menunjukkan, bahwa ia sebenarnya bukanlah pohon yang menyeramkan. Jadilah, kami bekerja sama bahu membahu berusaha menikmati buahnya. Ada yang memanjat, ada yang menunggu di bawah mengumpulkan buahnya. Karena aku anak perempuan satu-satunya, aku selalu diminta berada di bawah menunggu buah yang dilemparkan para anak laki-laki yang memanjat pohonnya.  

Iyah, lapangan bola yang ada di lingkungan rumah kami. Tempat favoritku dan Pia bertemu untuk janjian berangkat ke sekolah bersama. Terakhir aku mengunjungi lapangan itu beberapa bulan yang lalu. Lapangannya masih ada, cuman hanya agak sedikit lebih sempit dikarenakan rumah penduduk yang semakin menjamur. Pohon mangga raksasa itu sudah tidak ada di tempatnya, entah kapan pohon itu ditebang. Kadang aku terbayang, pohon itu masih berdiri kokoh ditempatnya. Di cabang-cabangnya yang kuat ada beberapa anak bergelantungan, di batangnya yang besar, ada dua tiga anak berlomba menaikinya, dan pohon itu tersenyum, tergelitik dengan ulah anak-anak yang bermain di badannya.
Sore hari setelah tidur siang adalah waktu bermain favorit kami. Biasanya aku yang kerumahnya mengunjunginya. Setelah rapi dengan pakaian kaos dan celana pendekku, aku berjalan-jalan sambil melompat-lompat. Kuciran rambutku yang diikat oleh ibu, bergerak naik turun seiring gerakanku.
Di rumahnya ada prosot-prosotan dan halaman yang luas untuk bermain. Ditambah lagi keluarganya menanam pohon jambu air. Kami bermain prosot-prosotan dibawah pohon itu. Jika hari libur tiba, aku bahkan sering bermain dari pagi hingga sore hari di rumahnya. Oleh Mbahnya, kami sering disajikan telur dadar dan sambal terasi yang masih ada di tempat ulekannya, kami menikmati makan siang kami dengan mencocol telur dadar kami di ulekan itu. Pia marah, jika aku bermain-main dengan nasiku.

Tiap sore, ia dan kakak perempuannya rutin menjemputku untu belajar mengaji di surau. Aku jadi tertawa sendiri, jika mengingat kejadian awal aku dimasukkan oleh ibu ke TPA, aku sangatlah pemalu, saking pemalunya, aku tidak ingin pergi mengaji. Suatu hari, aku bersembunyi di kamar mandi karena tidak ingin bertemu banyak orang di TPA, sedangkan di luar kamar mandi, ibu, Pia dan kakaknya membujuk ku agar segera keluar. Dengan bujukan yang tiada henti, aku akhirnya luluh juga. Dengan satu syarat, aku tidak boleh berpisah dengan Pia.
Surau tempat kami mengaji, berdiri di sebuah empang ukuran sedang. Lebih bisa dikatakan sebagai rumah terapung, kami harus berhati-hati berjalan menuju pintunya yang disambungkan oleh sebuah papan kecil panjang yang bergoyang-goyang jika kami berjalan di atasnya.

Aku juga ingat betul, ketika kami pulang mengaji bersama melewati sebuah rumah panggung kayu tidak berpenghuni, tempat kami anak-anak yang mengaji di surau menghabiskan sore kami di rumah itu. Karena rumah itu masih setengah jadi, beberapa materi-materi berbahaya masih berserakan di sana. Seorang anak pernah terluka, pahanya terkena paku ketika ia mencoba turun menggunakan sebuah papan kayu yang ternyata masih tertempel paku. Aku dan Pia, menjadi saksi saat itu, bukannya menolong, kami berdua malah menertawai anak malang tersebut yang lari terbirit-birit sambil memegang pahanya. Dan, tawa itu pun harus kubayar ketika suatu hari aku bermain di sana dan tak sengaja menginjak seng tajam yang menggores tepat di ibu jari kakiku. Hingga kini, belasan tahun sejak kejadian itu, bekas lukanya masih ada, terlihat samar-samar, namun cukup mengingatkanku dan memberikanku pelajaran bahwa menertawai penderitaan orang lain merupakan hal yang paling tidak patut dilakukan. 

Kenakalan-kenakalan masa kecil ku dan Pia juga muncul di sekolah kami. Yang menjadi korban keusilan kami adalah seorang anak yang sebenarnya bisa dikatakan “spesial” tapi, begitulah kami, anak-anak jahil yang tidak tahu menahu jika anak seperti itu tidak pantas dijadikan objek kenakalan kami.

Bersambung..

Sleman, 10-11-12



Minggu, 04 November 2012

Sore dan Hujan


Kamis, awal bulan November. Hari terakhir masa ujian mid semester. Dan akhirnya aku bisa benar-benar bersama kembali dengan soreku. Kebersamaan yang beberapa hari ini telah disita oleh setumpuk tugas mid semester, tidak hanya menyita sore, tapi juga malam-malamku.

Sore bagaikan seorang teman sejati. Ia menenangkan, ketika siang menyeretmu untuk bergelut mengumpulkan pundi-pundi rezeki, menjaring ilmu sebanyak mungkin dan menyibukkan dirimu dengan setumpuk pengalaman hidup. Memaksamu untuk merasakan letih dan penat, namun keringat yang mengucur karenanya kelak akan terbayar nantinya.

Karena, jika siang telah berhasil menguatkanmu dengan semua itu, diantara pergelutan dirimu dengan kerinduan akan kampung halaman, dimana, disana ada orang-orang yang kau sayangi, yang mulutnya tidak lepas dengan kiriman doa untukmu, percayalah, hari ini dan hari-hari yang lalu, kau telah berhasil melewati satu fase perjalanan hidup.

Sore seperti pasangan sejati, ia memang akan selalu pergi untuk beberapa saat. Ia pasti akan pergi, jika malam memintamu untuk menyandarkan penatmu padanya dengan mimpi indah atau memberimu kesempatan untuk merancang hidupmu. Masa lima, sepuluh, bahkan lima puluh tahun kedepan. Dan pagi esok akan menagih rancangan yang telah kau buat.

Sore akan pergi, namun hanya sebentar saja. Ia tahu kau menunggunya. Dan ia takkan membuatmu kecewa menunggu, seperti janji manusia padamu yang kadang ingkar. Ia setia dengan janjinya untuk kembali pada waktunya.

Dan sore ini, adalah sore yang istimewa. Sore dengan hujan yang tidak terlalu deras, walau selang beberapa menit, kilat diikuti bunyi guntur. Bukan pertanda adanya Dewa Zeus yang datang, melainkan ia bertasbih memuji pencipta-Nya. Ia juga istimewa, namanya bahkan menjadi salah satu nama surah di Al-quran. Ar-Ra'd.

Sore ini, sejuk sekali, dan aku selalu menyukainya. Aku mengurungkan niatku untuk memutar musik favoritku di laptop. Aku ingin mendengar suara hujan.

Hujan, adalah momen favoritku. Ini adalah salah satu momen terbaik, dimana doa-doa dikabulkan. Maka untaian doa terucapkan di sore ini.

Semoga keluarga-keluarga yang berselisih, segera menjadi damai. Semoga anak-anak yang kurang perhatian dan kasih sayang, bisa segera pulang ke rumah dengan sambutan senyum hangat dan pelukan orang tua. Semoga para anak lelaki bisa menjadi kebanggan orang tua mereka. Semoga para anak perempuan akan selalu membawa kehormatan bagi keluarganya. Semoga orang-orang yang sakit, diberikan kesembuhan. Semoga para pencari ilmu dimudahkan jalannya mendapat ilmu bermanfaat. Semoga mereka kelak akan membawa manfaat dari ilmunya. Semoga mereka yang berniat menuntut ilmu, dibukakan jalannya.

Semoga orang-orang yang berhutang, dimudahkan melunasi hutangnya. Semoga orang-orang yang telah lama merindukan buah hati, segera diberikan olehNya. Semoga para anak-anak yang kurang mampu, bisa tetap bahagia di dalam keserdehanaan mereka, semoga keluarga mereka dilimpahkan rejeki. Semoga para lelaki sholeh yang bertekad segera menyempurnakan diennya, dimudahkan jalannya untuk mendapatkan jodoh. Semoga para wanita yang merindukan pasangan yang sholeh, bertemu dengan mereka dan segera dipinang :D



Aamiin..aamiin..aamiin ya Rabbal alamiin




Sleman, 1 November 2012 17:19 WIB


Dalam senja yang semakin menghilang