Pages

Selasa, 23 Juli 2013

Tempat dan Kebahagiaan

Baru saja saya mengkhatamkan membaca buku yang gambarnya ada disamping kiri tulisan ini. Judulnya “The Geography of Bliss” yang ditulis oleh  mantan jurnalis New York Times dan sekarang menjadi jurnalis NPR (National Public Radio), Eric Weiner. Kebiasaan saya ketika melihat judul sebuah buku yang berhubungan dengan travelling, buku jenis itu selalu menarik saya untuk membacanya (tidak harus membelinya, beberapa buku travelling yang saya baca hasil dari pinjaman teman) tapi untuk buku yang satu ini saya merasa harus memilikinya. Saya membuka website Gramedia Online, dan mendapatkan harga diskon bersamaan dengan buku travelling jenis lainnya (lagi-lagi buku travelling).  Saya mengetahui perihal buku Weiner ini, hasil ‘stalking’ saya di facebook salah seorang teman. Saya suka men-stalking teman-teman facebook saya. Tapi tidak semua, hanya orang-orang tertentu saja. Kebanyakan yang suka menulis atau membaca buku. Hasil dari kegiatan ‘stalking’ ini, saya sering mendapatkan rekomendasi buku bagus yang tentunya tak sengaja diberikan.

Geografi dan kebahagiaan, inti cerita yang dibahas oleh Weiner di dalam bukunya ini. Hasil penelitiannya dalam berkeliling dunia dalam pencarian tempat paling membahagiakan di dunia. Di bagian depan bukunya sebuah kalimat tertulis “Kisah Seorang Penggerutu yang Berkeliling Dunia Mencari Negara Paling Membahagiakan” Weiner seorang penggerutu, tapi setidaknya ia melakuan sesuatu untuk mencari jawaban dari hal yang ia keluhkan. Saya juga seorang penggerutu, tapi mungkin seperti Weiner, saya penggerutu di level yang masih normal: mengeluhkan sesuatu, namun ketika masalah tersebut di luar kendali saya, saya kemudian melupakannya.

Weiner pergi ke Swiss, negara paling bahagia menurut World Database of Happiness (WDH) yang selalu ia jadikan acuan ketika memutuskan belahan dunia mana lagi yang akan ia jelajahi. WDH tersebut ia dapatkan dari seorang peneliti kebahagiaan di Belanda, bernama Ruut Veenhoven. Dari buku ini, saya baru tahu jika kebahagiaan bisa diukur dan digambarkan dalam bentuk statistik (paling tidak itu yang dikatakan oleh Veenhoven, seorang pengukur kebahagiaan) hingga ia tiba di negara paling menyedihkan, sebuah negara pecahan Uni Soviet, Moldova. Ternyata masih ada negara yang lebih sengsara karena kemiskinan dan korupsinya selain Indonesia. Namun, itu bukan sesuatu hal yang patut disyukuri. Cukup tahu saja.

Dapat dilihat di gambar itu, saya menempelkan banyak sticky notes untuk menandai halamannya. Halaman yang menurut saya, banyak quotes menarik di dalamnya. Ada sebuah quote yang  saya rasa sangat berkesan dan mendukung apa yang saya anut tentang kebahagiaan selama ini. Quote itu berasal dari seorang bijaksana bernama Karma Ura dari Bhutan, salah satu negara yang Weiner kunjungi karena ketertarikannya pada indikator kebahagiaan rakyat atau Gross National Happiness sebagai prioritas nasional alih-alih menggunakan Gross National Product. Bunyinya: “Tidak ada yang namanya kebahagiaan pribadi. Kebahagiaan seratus persen bersifat relasional.” Yang diaartikan oleh Weiner, bahwa hubungan kita dengan orang lain lebih penting dari yang kita kira.  Kebahagiaan kita sepenuhnya terkait dengan orang lain, keluarga dan teman serta tetangga atau bahkan seseorang yang nyaris tidak pernah anda perhatikan yang membersihkan meja kantor anda setiap hari. Dan yang saya pribadi mengartikannya, menciptakan kebahagiaan yang tidak hanya dinikmati oleh diri sendiri namun dinikmati oleh banyak orang. Kebahagiaan hanya disebut sebagai kesenangan semata, hingga kita membiarkan orang lain  terlibat dan ikut menikmatinya juga *smile: mode on. Saya setuju apa yang dikatakan Weiner bahwa kebahagiaan bukanlah kata benda atau kata kerja, dia adalah kata sambung, jaringan penghubung. 

Tempat dan kebahagiaan. Apakah itu berhubungan? coba tanyakan pada para traveller, backpacker atau orang-orang yang sering berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menemukan kenyamanan (menghindari kenyamanan?) atau kebahagiaan. Apakah mereka menemukan kebahagiaan di tempat-tempat yang mereka tuju? Apakah mereka bahagia setelah melakukan perjalanan? Hal ini kemudian membuat saya berfikir dan bertanya apakah itu sudah disebut bahagia? Saya berfikir bahwa mungkin itu hanyalah kesenangan, kenyamanan, keindahan, dan lain-lain. Belum bisa sepenuhnya dikatakan bahagia. Karena buktinya, walaupun saya senang melakuan perjalanan (baik jauh atau dekat) saya masih sering merasa tidak bahagia, dengan mendapati diri saya menggerutu tentang banyak hal dan setahu saya, banyak menggerutu tidak dilakukan oleh orang yang merasa dirinya bahagia. Pertanyaan saya ini kemudian paling tidak terjawab oleh Ruut Veenhoven mengenai hubungan antara tempat dan kebahagiaan. Ia mengatakan, “Kebahagiaan membutuhkan syarat-syarat kenyamanan, tapi bukan surga.” Manusia dapat terus beradaptasi. Kita mampu melewati zaman es, kita bisa selamat dari apa saja. Kita menemukan kebahagiaan di berbagai tempat, dan sebagaimana yang ditunjukkan oleh penduduk Slough yang ketinggalan zaman (kota yang pernah dinobatkan sebagai kota suram dan tidak bahagia di Inggris) bahwa tempat bisa berubah. Atlas kebahagiaan pun harus dibuat dengan pensil. Jadi saya menarik kesimpulan, bukan pada tempatnya, tapi pada bagaimana kita menciptakan kebahagiaan itu. Klise tapi benar adanya. Satu hal yang pasti dan telah saya rasakan mengenai sebuah perjalanan adalah dalam keadaan yang paling baik, perjalanan akan mengubah kita dengan berbagai cara yang tidak jelas sampai kita pulang.

Terlalu banyak hal menarik yang harus saya bahas mengenai buku tentang perjalanan Weiner dalam mencari kebahagiaan. Beberapa negara lain yang Weiner kunjungi yaitu Qatar yang memiliki banyak uang, tapi tidak mempunyai kebudayaan bangsanya (dan mereka tidak bisa membeli kebudayaan), tentu saja uang tidak bisa membeli semuanya. Thailand yang menanggap bahwa berfikir bisa membuat kebahagiaan berkurang. Bagi sebahagian orang (saya termasuk dalam sebahagian itu) kadang atau mungkin sering kita berada dalam kondisi selalu berfikir. Tulisan saya yang di atas banyak menulis kata ‘berfikir’, saya pikir (lagi-lagi, saya berfikir) ini benar adanya. Bahasa sederhana bagi orang Thailand adalah, bahagia ya bahagia aja, gak usah mikir, gitu ajak kok repot. Dan yang paling menarik adalah ketika kita memikirkan apakah kita bahagia? Maka sebenarnya jawabannya kita tidak bahagia.

Makassar, 15 Ramadhan 1434


13.30 wita

Senin, 01 Juli 2013

Tentang Fase Kehidupan

Baru saja melihat theme song Piala Dunia 2014 di TV yang berjudul Todo Mundo, dibawakan oleh penyanyi Brasil, Gaby Amarantos. Hingga sekarang, bagi saya, saya belum menemukan lagu sekeren dan melekat banget di kepala, punya Ricky Martin di Piala Dunia tahun 1998 di Perancis, yang judulnya La Copa de la Vida (Cup of Life). Tapi saya bukan ingin bercerita dan mengkritisi lagu-lagu Piala Dunia. Ini tentang fase kehidupan. Apa hubungannya dengan Piala Dunia?


Album La Copa De La Vida
Untuk saya, saya membuat standar fase kehidupan saya berdasarkan perhelatan Piala Dunia, heheh. Saya mulai melakukan ini sejak tahun 1998, Piala Dunia di Perancis. Salah satu yang menarik buat saya dengan piala dunia kala itu, ya karena lagu punya Om Ricky Martin. Sekedar info, lagu itu sangat terkenal di tahun 90-an, yang notabenenya di tahun tersebut lagu anak-anak (yang bener-bener lagu yang cocok untuk usia anak) masih sering wara wiri di TV dan beberapa diantaranya mengadaptasi lagu La Copa de la Vida ini. Sangat disayangkan, saya lupa nama penyanyi anak-anak itu dan juga judul lagunya L yang paling saya ingat adalah musiknya, lagu Piala Dunia 1998 ini benar-benar melekat di kepala saya. Ditambah lagi, lirik bagian “Go, go, go, ale, ale, ale..” ini sering dinyayikan dimana-mana. Di dalam rumah saya, di lingkungan tetangga dan juga di sekolah dinyanyikan oleh anak-anak sebaya saya.

Sebagai anak-anak (waktu itu masih SD) tentunya fase kehidupan yang saya pikirkan kala itu, masih sangatlah sederhana. “Kapan Piala Dunia diadakan lagi?” Tanya saya pada Ayah. “Empat tahun lagi baru akan diadakan kembali.” Lalu saya kemudian memikirkan empat tahun ke depan saya akan menjadi apa ketika Piala Dunia muncul lagi? Sesederhana, seperti empat tahun ke depan saya sudah sekolah di SMP, terus empat tahun berikutnya saya sudah kuliah, dan seterusnya. Namun, ketika semakin dewasa, saya memikirkan fase kehidupan ini menjadi lebih kompleks. Empat tahun ke depan apakah saya masih hidup untuk menonton Piala Dunia kembali? Saya bakal berada dimana menonton Piala Dunia empat tahun ke depan? Bagaimana kehidupan saya setelah empat tahun ke depan? Apa sudah sukses kah? Ayah dan ibu bagaimana? Teman-teman saya bagaiman? Bagaimana jika empat tahun ke depan saya ditawari menyanyikan theme song Piala Dunia berikutnya, hahah. Dan yang paling sering terlintas adalah, apakah ketika menonton Piala Dunia berikutnya sudah ditemani/menemani suami? :D

Mendengar theme song Piala Dunia barusan, membuat saya meng-flashback semua yang telah saya lewati sejak pertama kali membuat standar fase kehidupan saya di tahun 1998. Lima belas tahun telah berlalu dan akan menjadi enam belas ketika Piala Dunia 2014 akhirnya diadakan di Brazil. Ketika di tahun depan, jika saya masih diberikan umur yang panjang, artinya sudah empat perhelatan Piala Dunia telah saya lewati dalam kehidupan saya sejak saya mulai mengerti betapa serunya Piala Dunia selain menantikan seperti apa theme song-nya.

Perhelatan piala dunia di tahun 2010 kemarin, saya kurang begitu mengikuti karena kesibukan mengurus skripsi. Dan saya sempat kecewa, kesempatan untuk menonton begadang semalaman bersama ayah jadi terlewati L dan di tahun 2014, insyaallah saya nantinya akan disibuki menggarap tesis. Woaah, dua perhelatan Piala Dunia selalu bertepatan dengan tugas akhir saya. Hmm..  

Saya bukan penggemar bola sejati, tetapi setiap empat tahun sekali saya akan membiarkan diri saya bergabung di dalam hiruk pikuk euforia Piala Dunia. Terutama dengan ayah. Saya ingat beberapa piala dunia, beliau rajin membawakan pernak perniknya. Baik itu jadwal pertandingan piala dunia yang akan saya tempelkan di tembok kamar, hingga handuk bergambarkan bendera negara tim jagoan saya.

Berdasarkan apa yang terjadi sekarang dan dimana saya berada. Saya dapat memprediksi pada saat Piala Dunia tahun depan, saya akan berada di kamar kos, nonton sendirian dikelilingi buku-buku dan revisi tesis. 

Sleman, 2 Juli 2013
01:55 AM


 Di tengah kantuk yang mengetuk-ngetuk