Pages

Sabtu, 20 April 2013

Coto Makassar vs Coto Jawa


Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu kedua.

Kuahnya kental, kaya rempah, isi daging dan jeroan, gurih, nikmat jika ditambah menggunakan jeruk nipis, waah jadilah makanan paling enak sedunia, setidaknya begitulah menurut saya. Coto. Kuliner khas Makassar yang sudah terkenal dimana-mana.

sedapnyaa
Dimana ada coto pastilah ada ketupat, mereka adalah sepasang mahluk yang tidak bisa dipisahkan. Beberapa warung Coto menyediakan burasa juga sebagai makanan pelengkap Coto, tapi bagi lidah saya yang sejak dulu sudah terbiasa dengan Coto dan ketupatnya, rasanya aneh jika makan coto selain dengan ketupat.
sumber : ceritamakassar.wordpress.com
Entah bagaimana asal usul pasti kuliner ini. Sempat mengubek-ubek Google sana sini, membandingkan satu artikel dan artikel lainnya dan akhirnya saya mmenyimpulkan kalau coto sudah ada sejak jaman Kerajaan Gowa di tahun 1538 dan kuliner ini dipengaruhi makanan asal Cina yang terlihat dari sambal coto yang menggunakan tao-co yang note bene-nya adalah ciri khas kuliner asal Cina. Coto kemudian menjadi terkenal hingga warung-warungnya dapat kita temui di beberapa tempat di Indonesia.

Sebahagian orang Makassar pasti kenal dengan istilah ‘’garcot’’ atau Garring Coto.  Garring sendiri berarti sakit. Istilah ini sering digunakan orang Makassar yang lagi ‘ngidam’ makan coto atau candaan yang dilontarkan kepada orang yang lagi sakit untuk menghibur mereka. Artinya adalah ketika orang itu sakit, maka penyebab ia sakit hanya karena ingin makan coto, maka coto bisa menjadi penyembuh bagi yang menderita sakit. Inilah mengapa coto menjadi primadona di Makassar, bahkan ketika sakit jika makan coto maka orangnya bisa sembuh, hehe.

Lain ladang, lain belalang. Lain tempat, lain pula cotonya. Inilah yang saya rasakan ketika pertama kali mencicipi coto di Kota Jogja. Beberapa bulan pertama di Jogja, saya mengalami sindrom “garcot” alias garring coto. Yah, yang namanya orang garcot, bawaannya jadi gelisah dan akhirnya jadi cerewet mengatakan ke orang-orang kalau saya ingiiiiiin sekali makan coto, tapi tidak tahu harus kemana. Salah seorang teman kemudian mengajak saya ke warung coto yang kabarnya sangat terkenal di Jogja, terletak di daerah Kotabaru, Yogyakarta.

Hal yang pertama saya lihat adalah warung yang tidak begitu besar dan tidak ada kursi yang kosong. Setelah kami bersabar menunggu beberapa saat, saya dan teman lalu mendapat dua kursi yang terletak di tempat yang tidak begitu nyaman buat kami berdua. Tempat kami makan berada di lorong sempit yang harus berdesak-desakan dengan pelayan yang lalu lalang dan pembeli yang keluar masuk. Tapi tak apa-apalah, demi memuaskan garcot saya, saya ikhlas saja.

Di Makassar, ketika seseorang ingin memesan coto maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memesan bagian dari sapi atau kerbau yang ingin dimakan. Apakah dagingnya saja, hatinya saja, atau campur daging dan jeroan sesuai selera si pembeli. Itulah yang saya lakukan ketika pertama kali sampai disana, dengan percaya diri saya mendekati pelayan dan meminta seporsi coto isi daging dan jantung, tapi si pelayan mengatakan “tidak ada yang seperti itu.”  Kecewa juga, jadi akhirnya menerima saja apa yang disajikan oleh pelayan.

Coto Kotabaru, Yogyakarta
Coto Kotabaru, Yogyakarta

Seperti yang saya katakan tadi, lain tempat, lain pula cotonya. Disamping saya tidak bisa memesan isi coto sesuka saya, sambelnya pun bukan sambel tao-co yang memang khas untuk coto dan rasanya pun beda. Ada bumbu yang menurut saya ditambahkan di dalamnya. Saya familir dengan bumbu ini ketika sadar pernah mencicipi kuliner khas Jogja dengan bumbu yang rasanya sama. Porsinya pun tidak begitu mengenyangkan bagi saya, namun itu sesuai dengan harganya yang murah.

Coto langganan saya di Makassar

Pada akhirnya kuliner khas suatu daerah ketika memasuki daerah tertentu, maka ia akan beradaptasi dengan rasa lokal di daerah tersebut. Rasanya disesuaikan dengan lidah orang-orangnya. Sama seperti lalapan yang aslinya berasal dari Jawa yang merupakan sayuran mentah, namun orang Jawa yang menjualnya di Makassar harus merebusnya terlebih dahulu karena orang Makassar tidak terbiasa makan dengan sayuran mentah. Begitu pula dengan coto yang saya ceritakan, disesuaikan dengan rasa lokal, sesuai lidah orang Jogja. Salah satu teman kuliah saya yang asli Jogja sangat menyukai rasa coto Kotabaru tersebut, namun saya yakin, lidahnya belum tentu cocok dengan coto cita rasa Makassar.


Minggu, 14 April 2013

Kota di Dalam Kota


Saya tinggal di salah satu perumahan yang disebut-sebut sebagai perumahan terbesar di Timur Indonesia. Kompleks Perumahan Bumi Tamalanrea Permai Makassar. Ada kisah yang menurut saya menarik dari perumahan ini. Simak cerita saya sebagai salah satu ‘penunggunya’. Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu pertama.
Semasa SMP, salah seorang sahabat kental saya, tinggal di Kompleks BTP. Walaupun saya tinggal jauh dari rumahnya, saya selalu berkunjung ke BTP jika ia mengajak saya, sebagai sahabat yang baik, saya selalu mengiyakan. Perumahan yang cukup populer, pikir saya waktu itu karena selain sahabat saya, kebanyakan teman-teman sekolah lainnya bertempat tinggal di perumahan tersebut. Kesan pertama saya terhadap perumahan BTP adalah sebuah perumahan yang ramai, padat serta langganan banjir! BTP terkenal dengan perumahan yang selalu bermasalah dengan genangan air tiap tahun. Saya selalu tertawa ketika dulu sering mendengar sindiran orang-orang yang menyebut BTP merupakan singkatan dari Perumahan Banjir Terus Permai.

Beberapa tahun berjalan, saya lalu mendapati diri saya berada di salah satu rumah di BTP, saya tidak sedang mengunjungi sahabat SMP saya. Saya dan keluarga akhirnya, di pertengahan tahun 2002 resmi menjadi warga dari perumahan yang diresmikan oleh mantan presiden, Alm. Soeharto di tahun 1991. Kami pindah dari tempat tinggal kami yang dulu di Kelurahan Paropo.

Satu hal yang kami khawatirkan dari rumah ini, apakah akan menjadi korban banjir juga? Mengingat BTP selalu menjadi langganan tetap banjir tiap tahun dan kami pun sekeluarga juga trauma dengan banjir. Di rumah yang dulu pun kami selalu terkena banjir yang sangat parah dan rutin terjadi tiap tahun, maka dari itu rumah lama kami mempunya lantai dua yang berfungsi sebagai tempat mengungsi ketika kami kedatangan ‘tamu’ tiap musim hujan. Menurut pemilik yang menjual ruko itu, ruko tersebut bebas banjir karena posisinya yang lebih tinggi dari jalanan. Kami merasa lega. Musim hujan datang juga dan memang air yang ada di jalanan tidak sampai masuk ke rumah, tapiii, air yang berada dari bawah tanah-lah yang menjadi masalah. Air terus menerus merembes dari pinggir tegel, tempat terparah ada di ruang dapur. Yah, kami memang masih kebanjiran. Kami sekeluarga merasa ‘dikutuk’ karena bertahun-tahun tidak bisa lepas dari banjir, namun satu hal yang kami syukuri adalah banjir di rumah yang baru ini airnya lebih sedikit dan bersih tanpa lumpur tidak seperti banjir di rumah lama, jadi saya dan keluarga tidak perlu mengeluarkan tenaga yang lebih keras untuk ‘mencuci’ rumah kami.   

Hal yang menarik ketika entah di tahun keberapa, saya lupa waktu persisnya, di suatu musim penghujan dan di kondisi kebanjiran, saya, ayah dan ibu menjalani keseharian kami. saat ayah saya membersihkan banjir di rumah yang mulai surut, beliau mendapati air yang berbau minyak, lalu ia mengikuti jejak minyak itu melalui pintu menuju halaman belakang, ayah memanggil saya untuk memastikan jejak kilauan minyak itu berasal dari genangan air di sekitar pompa air yang terletak di halaman belakang. Kami berdua saling memandang dan tersenyum lebar. Benarkah ada sumber minyak di bawah tanah tempat rumah kami berdiri? jika benar, kami berdua membayangkan rumah ini akan terkenal, masuk TV dan kami akan menjadi kaya raya. Kejadian air bercampur minyak ini terus menerus terjadi selama beberapa hari. Sehingga kami berdua mengambil kesimpulan, sumber minyak benar-benar ada di bawah rumah kami! Namun, setelah dilakukan penyelidikan lebih lanjut, ternyata air yang bercampur minyak itu berasal dari tumpahan minyak tanah dari kompor minyak ibu yang beliau letakkan tersembunyi di sudut tempat mencuci baju di halaman belakang. Saya dan ayah kecewa, kami batal menjadi terkenal.

BTP tidak hanya diramaikan oleh manusia, tapi gerombolan sapi yang entah darimana dan entah siapa pemiliknya juga membuat kondisi kompleks perumahan ini semakin semrawut. Mereka sangat menganggu. Memacetkan jalanan di BTP, buang kotoran sembarangan, membongkar sampah warga yang diletakkan di depan rumah, memakan bunga-bunga yang ditanam rapi oleh pemiliknya. Bagaimana jadinya jika salah satu sapi itu bisa saja memakan bunga mahal milik warga, pemilik sapi mungkin harus menggantinya dengan satu ekor sapinya.

sumber : http://bingkailensa.blogspot.com/2010_10_01_archive.html
sumber : koleksi pribadi

Saya pernah bekerja sebagai penyiar di salah satu radio swasta di Makassar, salah satu program acara di radio itu adalah menampung keluhan-keluhan warga Kota Makassar sekitar fasilitas dan layanan publik yang nantinya akan dimediasikan dengan pihak terkait. Dan salah satu keluhan terbanyak adalah sapi-sapi yang menganggu warga BTP. Suatu kali seorang pendengar menelpon kami, yang seperti biasa mengeluhkan sapi-sapi yang sering memacetkan jalanan di BTP, dari nada suaranya ada sedikit kemarahan. Di ujung pembicaraan, bapak itu memberikan usulan, jika urusan sapi-sapi tersebut belum juga diatasi, maka warga sepakat untuk memotongnya saja dan membagi-bagikan dagingnya ke warga. Saya menahan ketawa mendengarnya, dan menurut saya itu usul yang bagus karena saya pun juga merasakan kesusahan yang sama dengan bapak itu. Urusan hewan ternak yang ada BTP ini sudah dimediasikan berulang-ulang ke Dinas Pertanian dan Peternakan Kota Makassar, namun selama saya bekerja disana hingga saya berhenti setahun kemudian, sapi-sapi itu masih saja berkeliaran di sekitar rumah kami di BTP. Hmm, entah kenapa belum juga bisa tertangani.

Perumahan BTP sebagai perumahan yang ramai dan padat menjadi tempat yang strategis untuk membuka usaha. Di sepanjang jalan poros perumahan, ruko berjejeran dengan berbagai macam bidang usaha. Yang terbanyak adalah usaha kuliner. Jika Bulan Ramadhan tiba, perumahan ini berubah menjadi pasar kaget menjelang buka puasa. Berbagai jajanan segala macam rupa dijual. Semua orang tiba-tiba menjual makanan pa’buka. Ruko yang tadinya hanya menjual pulsa, bidang usahanya bertambah dengan menjual Es Pisang Ijo dan Es Pallu Butung. Tak ketinggalan yang tidak menjual pa’buka juga bisa mendapat untung dari menyewakan halaman rumah mereka untuk ditempati orang lain berjualan. Berkah Ramadhan sangat terasa di BTP.

sumber : http://www.bisnis-kti.com/index.php/2012/07/harga-kedelai-berjualan-takjil-tanpa-tempe-di-makassar/
Ruko-ruko juga semakin menjamur di perumahan ini dari waktu ke waktu. Spirit kewirausahaan warga BTP ditandai dengan bangunan ruko yang banyak dan direnovasi secantik mungkin. Bangunan yang tadinya hanya sebuah rumah biasa beberapa bulan kemudian bisa berubah menjadi sebuah ruko yang menjulang tinggi. Tetangga saya juga ikutan merenovasi rumahnya menjadi sebuah ruko bertingkat. Saya cukup terganggu karenanya, karena hal itu menghalangi sinar matahari ke rumah kami. Dulu setiap sore, saya sering menghabiskan waktu duduk di halaman belakang rumah, menunggu sunset yang terlihat jelas dari situ, namun sejak tetangga kami membangun rumahnya yang tinggi, saya tidak dapat melihatnya lagi. Kekesalan saya ini kemudian saya tuangkan ke dalam sebuah tulisan sederhana berupa cerpen yang kemudian menjadi salah satu pemenang kategori cerpen favorit di Lomba Menulis Cerpen Tingkat Nasional di tahun 2009.

sumber : koleksi pribadi
sumber : http://rumahdijual.com/makassar/77655-ruko-btp-3-lantai-tamalanrea-makassar.html
Kota dalam kota. Saya menyebut perumahan BTP seperti itu. Versi lebay-nya, seperti Vatikan yang berada di Negara Italia. Sepertinya semua fasilitas sudah ada di perumahan ini. Sekolah dari tingkat playgroup hingga sekolah tinggi (sekolah negeri dan swasta), minimarket yang menjamur, Bank, ATM, PDAM, Polsek Tamalanrea, rumah sakit bersalin, toko bahan bangunan, butik, warnet termasuk beberapa rumah makan ternama di Kota Makassar juga membuka cabangnya di perumahan ini.

Sudah hampir setahun saya meninggalkan Makassar saat saya memutuskan melanjutkan pendidikan di Pulau Jawa. Kesemrawutan terkadang menjadi hal yang saya rindukan dari perumahan itu. Saya menunggu bulan puasa untuk bisa pulang (berharap saya bisa pulang) karena ketika bulan puasa tiba, aura kesemrwatuan di BTP menjadi lebih indah di mata saya.


Ket :
1. Pa’buka = sebutan untuk jajanan berbuka puasa.
2. Es Pallu Butung = es serut berbahan utama bubur Sumsum, di dalamnya ada pisang kepok yang dikukus dan sirup DHT. Maknyoss.

                                                                                                            


                                                                                                            

Rabu, 03 April 2013

Gak Ada Judul

Sore itu aku membuka mataku perlahan, satu yang langsung terlihat adalah bayangan daun pohon melambai-lambai di dinding kamar kosku. Aku memilih untuk tidak tidur kembali, entah kenapa aku senang saja melihatnya seperti itu.

Suara anak-anak yang bermain di luar di sore hari, tidak lama setelah itu makanan gerobak kupat tahu membunyikan bambu sebagai tanda keberadaannya, suaranya semakin menjauh. Setelah cukup hening, lalu muncul suara ibu kosku yang  (seperti) sedang memarahi anak-anaknya itu tidak asing di telingaku. Hmm terasa seperti berada di perkampungan kecil.
Namun, ada satu suara yang kubenci, suara gonggongan anjing-anjing peliharaan ibu kos. Baru kali ini, aku melihat anjing yang menggonggong seenaknya saja. Yang kutahu anjing tidak akan menggonggong ketika hewan ini bertemu dengan orang yang sudah familiar buat mereka. tapi entah kenapa, setiap hari bertemu dengannya, kadang-kadang aku digonggongi, kadang tidak, sesuai mood-nya barangkali atau hanya sedang mengetes kemerduan gonggonganya ? entahlah.

Aku juga punya tetangga kamar yang cukup berisik. dia senang sekali konser di waktu-waktu yang tidak terduga, kadang pagi, siang, malam atau tengah malam. di sebelah kamarnya, tidak kalah berisik, jika ia sedang mengobrol entah itu dengan ibu kos yang tinggal bersebarangan dengan kamarnya atau entah dengan siapa ia berbicara, seperti ia sedang berada di keramaian yang akan mengalahkan suaranya, padahal kompleks kos kami cukup hening. jadilah suaranya yang mendominasi.

Di luar kamarku, berbagai macam pohon tumbuh subur. Beberapa di antaranya ada pohon mangga dan rambutan. jika berbuah, buahnya jatuh berhamburan dimana-mana. Rimbun. di pagi hari aku sering mendengar suara sapu lidi ibu kos yang membersihkan daun-daunnya yang berguguran. Keluarganya juga memelihara ayam yang rajin mengeluarkan bunyi di pagi hari. Benar-benar seperti di kampung. I like it :)