Ada hubungan apa yang
terjalin antara aku dan kucing? Hubungan gelap? Bukanlah! Hubungan gantung? Bukan
juga, (emang jemuran!) hubungan baik? bisa juga dikatakan seperti itu. Aku
penyuka kucing, dan aku yakin kucing juga sama aku, hehehe. Dari kecil
sudah beberapa kali memelihara kucing, tapi sayangnya hobiku ini adalah ancaman
buat ibu. Ibu gak suka sekali dengan kucing! Baginya kucing merupakan ancaman
terbesar di rumah yang selalu ia jaga kebersihannya dan ancaman pula buat
bunga-bunga kesayangannya. Karena di pot tempat bunga-bunganya ditanam,
merupakan tempat favorit kucingku membuang hajatnya. Jadilah ia bakal
ngomel-ngomel. Bukan sama kucingnya, tapi sama majikannya!
“Kucingnya dibuang saja!” Kata ibu. Tidaaaaak..! gak mau! Sampah, kali main buang aja!
Sebenarnya, aku sudah sering memelihara kucing sejak dulu. Entah itu kucing yang benar-benar tinggal di rumah atau kucing jalanan yang sekali-sekali mampir ke rumah, nagih makanan. Sejauh yang kuingat, pengalaman pertamaku melihara kucing waktu masih kecil, masih SD. Sudah lupa, gimana pertemuan pertama kami waktu itu (halah!) yang jelas semua kucing-kucing yang aku pelihara adalah jenis kucing kampung dekil yang hobi mondar mandir, ngintip di balik pintu belakang dapur . Karena aku gak tahan liat kucing nganggur, dan sering berkunjung ke dapur, akhirnya kuangkatlah ia menjadi peliharaanku. Singkat cerita kami melalui hari bersama-sama, berbagai suka dan duka, maksudnya kalo kucingku berduka karena lapar, kami sering makan bareng, tentunya bukan sepiring berdua. Kalo aku senang, akan kupeluk kucingku erat-erat, kuremas-remas badannya (uuuuuhhhh,gemmmmmmeeeessss abisssss) tapi gak sampai mati lho.. habis itu si kucing ngeloyor pergi, takut kali aku cekik, hehehe. Tapi kebersamaan kami gak berlangsung lama. Kucingku dibawa kabur oleh kucing jantan! (kucingku betina) Seandainya ia minta izin dulu sama pemiliknya kalo suka ama kucingku dan ingin hidup berdua bersamanya, pasti aku ijinkan. Hmm, pemuda jaman sekarang, udah gak tahu aturan! Main bawa lari kucing gadis orang! Sampai disitu kebersamaan kami.. akhirnya anak tetangga sebelah rumah memperkenalkan aku dengan beberapa ekor anak kucing cantik yang ditinggal induknya entah kemana. Woaah, senangnya! sekali dapat, langsung tiga ekor! Uh-hui! (gaya mas komeng) anak-anak kucing itu aku pelihara. Aku buatkan tempat tidur di dalam gudang di halaman depan rumah. Sekali-sekali aku menengok mereka untuk memberi makan, sekali-sekali aku juga sering bawa masuk ke dalam rumah, kalau ibu lagi gak ada. Kalo gak ada teman main, aku bermain berempat ma kucing-kucingku. Yah, maklum jadi anak perempuan satu-satunya resikonya gak punya teman main di rumah. Aku hanya punya satu saudara laki-laki, abangku lahir lima tahun lebih dulu. Aku jarang bermain ma dia, lebih seringnya sih berantem, hehehe. Mungkin dia merasa udah punya saingan setelah lima tahun lamanya menjadi anak satu-satunya, huahahaha (ketawa setan). Dia juga bilang kalo main ma anak perempuan, katanya gak asyik! Lebih asyik main ma anak laki-laki sebayanya. Akhirnya aku lebih sering bermain sendiri. Hiks..
“Kucingnya dibuang saja!” Kata ibu. Tidaaaaak..! gak mau! Sampah, kali main buang aja!
Sebenarnya, aku sudah sering memelihara kucing sejak dulu. Entah itu kucing yang benar-benar tinggal di rumah atau kucing jalanan yang sekali-sekali mampir ke rumah, nagih makanan. Sejauh yang kuingat, pengalaman pertamaku melihara kucing waktu masih kecil, masih SD. Sudah lupa, gimana pertemuan pertama kami waktu itu (halah!) yang jelas semua kucing-kucing yang aku pelihara adalah jenis kucing kampung dekil yang hobi mondar mandir, ngintip di balik pintu belakang dapur . Karena aku gak tahan liat kucing nganggur, dan sering berkunjung ke dapur, akhirnya kuangkatlah ia menjadi peliharaanku. Singkat cerita kami melalui hari bersama-sama, berbagai suka dan duka, maksudnya kalo kucingku berduka karena lapar, kami sering makan bareng, tentunya bukan sepiring berdua. Kalo aku senang, akan kupeluk kucingku erat-erat, kuremas-remas badannya (uuuuuhhhh,gemmmmmmeeeessss abisssss) tapi gak sampai mati lho.. habis itu si kucing ngeloyor pergi, takut kali aku cekik, hehehe. Tapi kebersamaan kami gak berlangsung lama. Kucingku dibawa kabur oleh kucing jantan! (kucingku betina) Seandainya ia minta izin dulu sama pemiliknya kalo suka ama kucingku dan ingin hidup berdua bersamanya, pasti aku ijinkan. Hmm, pemuda jaman sekarang, udah gak tahu aturan! Main bawa lari kucing gadis orang! Sampai disitu kebersamaan kami.. akhirnya anak tetangga sebelah rumah memperkenalkan aku dengan beberapa ekor anak kucing cantik yang ditinggal induknya entah kemana. Woaah, senangnya! sekali dapat, langsung tiga ekor! Uh-hui! (gaya mas komeng) anak-anak kucing itu aku pelihara. Aku buatkan tempat tidur di dalam gudang di halaman depan rumah. Sekali-sekali aku menengok mereka untuk memberi makan, sekali-sekali aku juga sering bawa masuk ke dalam rumah, kalau ibu lagi gak ada. Kalo gak ada teman main, aku bermain berempat ma kucing-kucingku. Yah, maklum jadi anak perempuan satu-satunya resikonya gak punya teman main di rumah. Aku hanya punya satu saudara laki-laki, abangku lahir lima tahun lebih dulu. Aku jarang bermain ma dia, lebih seringnya sih berantem, hehehe. Mungkin dia merasa udah punya saingan setelah lima tahun lamanya menjadi anak satu-satunya, huahahaha (ketawa setan). Dia juga bilang kalo main ma anak perempuan, katanya gak asyik! Lebih asyik main ma anak laki-laki sebayanya. Akhirnya aku lebih sering bermain sendiri. Hiks..
Balik ke kucing-kucing
tadi. Kalo bermain sama mereka. Aku sering masukin anak-anak kucingku dalam
sarung kemudian sarung itu aku gantung ke tempat jemuran, mengayun-ayunkannya
dengan pelan dan menyanyikan lagu nina bobo untuk mereka. Dan karena kasih
sayang dan perawatanku akhirnya mereka tumbuh menjadi kucing remaja yang dah
tahu nyari makan sendiri. Satu persatu mereka meninggalkan aku, hiks,hiks,
sedih rasanya. Mungkin mereka terpengaruh ajakan teman-teman mereka, kucing
kampung lainnya yang juga sering mondar mandir depan rumah, bahwa ada dunia di luar
sana yang harus mereka jelajahi. Aku pun tak kuasa, menjaga tiga ekor anak
kucing yang telah beranjak dewasa dan sudah susah diatur, apalagi satu-satunya
di rumah yang suka kucing cuman aku, jadi berat juga punya tanggung jawab
membesarkan tiga ekor kucing sekaligus sendirian. Kulepas mereka dengan berat
hati. Semoga mendapatkan majikan yang lebih baik. (-_-‘’)
Sejak itu, beberapa ekor kucing telah bolak balik kupelihara. Namun, tak
ada yang bertahan lama. Alasannya bermacam-macam. Ada yang kabur, karena rumput
tetangga lebih hijau. Maksudnya, makanan di rumah sebelah lebih banyak dan
enak. Gak sama, kalo sama aku yang menunya tiap hari hanya nasi dicampur kuah
ikan masak. Itupun cuma sekali-kali. Kadang-kadang aku campur nasi pake telur
atau tahu tempe, kucingnya gak mau makan. (Pantesan, kucingnya suka kabur ya! )
Nah semua makanan yang
aku makan itu kan bukan makanan kucing. Jadi akhirnya, kucingku berpindah ke
lain rumah.Hiks.. alasan lain mengapa aku dan kucing peliharaanku gak bisa lama
bersama, ya itu tadi ibu anti ma kucing! Pernah suatu kali, kucingnya dibuang
tanpa sepengetahuanku,hiks. Dan ada juga kucingku yang mati, sediiiih
buaaaanget waktu itu. Sampe sekarang, kalo ingat detik-detik kematiannya, suka
nangis, habisnya tragis,gis,gis! Saat itu, aku tidak tahu kalo kucingku sakit.
Ia menebarkan muntahannya ke seluruh penjuru rumah, itu membuat aku dimarah
habis-habisan oleh ibu. Dan aku pun ikut melampiaskan kemarahanku pada si
kucing, aku sentil telinganya, karena saking kesalnya, muntah dan pup di dalam
rumah (gak biasanya ia seperti itu) lalu kutinggalkan kucing itu sendiri di
gudang depan rumah. Tidak lama, setelah menyesali perbuatanku dan ingin melihat
si kucingku tersayang, yaaaaaah….dia sudah mati! Mulutnya sudah dipenuhi dengan
semut, aku terkejut bukan main, lalu dengan tangisan yang ditahan, aku mengadu pada
ibu, kalo kucingku sudah mati. Baru pertama kali ibu, kasian melihatku dengan
si kucing. Mengingat si kucing sudah lama kupelihara, sejak ia masih
kecil dan akhirnya si kucing punya anak sendiri. Ibu menawarkan diri
untuk menemaniku menguburnya di depan rumah, tepat di bawah pohon mangga. Aku
sangat menyesal, karena di saat-saat terkahirnya si kucing sempat kumarahi,
hooaaaaaaahhhh…hiks,hiks,hiks..T_T
Esoknya, aku demam tinggi
dan gak masuk sekolah. Si kucing meninggalkan dua ekor anaknya yang masih kecil
padaku, karena aku sakit dan anak kucing tidak ada yang mengurus, jadinya si
anak kucing suka nangis, dengan meong-an melengking memenuhi rumah. Kalo sudah
begitu aku turun dari tempat tidur dan membuatkan susu untuk anak kucingku,
tapi karena mereka masih masih bayi, mereka belum bisa meminum susunya langsung
dari mangkok yang telah kusediakan, aku berinisiatif untuk memasukkan susu itu
ke dalam botol plastik bekas tempat cuka yang sudah kubersihkan. Karena tutup
botol cuka itu bentuknya runcing dengan lubang kecil ditengahnya, aku mengambil
kesimpulan bahwa ini sudah hampir mirip dengan puting susu induknya, ckckck
(-.-!)’’ Kumasukkan ujung botol itu ke dalam mulut anak kucing yang kubuka
paksa, si kucing meronta-ronta dan gak mau minum juga. Akhirnya, si anak kucing
jadi belepotan. Seluruh tubuhnya beraroma susu. Kupikir daripada ntar
dikerebutin semut, aku mandikan saja bayi-bayi kucing ini. Setelah mandi,
kujejeli mereka lagi dengan botol bekas cuka itu. Dan, akhirnya mereka semuanya
mati! hoaaaaaaahhhh…! T_T sumpah! Gak ada maksud untuk menyiksa anak-anak
kucingku! Esoknya, demamku malah tambah parah. Hiks,..
Karena gak punya
peliharaan kucing lagi, aku kesepian lagi selama beberapa waktu yang lama dan
itu membuat ibu tenang karena gak harus pusing dengan bau pup kucing. Tapi
suatu hari, waktu main ma teman-teman di sebuah rumah kosong, tempat favorit
kami bermainku dan teman-temanku jika siang hari, namun jika malam tiba,
setelah pulang belajar ngaji dari rumah Pak Jufri (guru ngajiku semasa kecil)
dan lewat depan rumah itu, aku dan teman-temanku ngadain lomba lari setelah
lepas sandal jepit masing-masing sambil mengangkat sarung dan cuuurrrrr!
Kabuuuuuurrrr! Habis rumahnya terlihat seram jika malam hari. Kosong, gelap,
dan terlihat angker. Dan suatu hari saat bermain, salah seorang teman nemu
seekor bayi tikus yang tergeletak di
sudut rumah kosong itu.
“Eh, kalian ke sini!” Panggil
salah seorang teman. Kami semua menghampirinya. Seekor bayi tikus, kecil, masih
mengkerut, berwana merah muda bening sedang tidur lelap.
“Ihhhh! Bayi tikus!” Seorang
temanku menjerit.
“Ihhhh, lucunya!” Kataku.
“Kasian, ditinggal
emaknya!” Teriak temanku yang lain.
“Ada yang mau bawa pulang
gak bayi tikus ini?” Tanya temanku yang pertama kali menemukan tuh bayi tikus.
“Kamu aja!” Saran
temanku.
“Nggak mau! Lucu sih,
tapi jijik!”
“Sayah! sayah aja yang
bawa pulang!” Kataku girang.
“Gak takut dimarahi
ibumu, Ndah?”
“Ya, jangan ampe dia tahu
toh!”
Kucing tak ada, tikus pun
jadi! Singkat cerita, aku menjadi sukarelawan menjaga bayi tikus itu. Aku
mengendap-endap pulang ke rumah. Gak boleh satupun orang rumah tahu kalo aku
membawa ‘oleh-oleh’ dari rumah kosong itu. Seekor bayi tikus yang imuuuuut buaaanget.
Aku simpan bayi tikus itu di samping rumah, di dalam sebuah kardus kecil dan
kututupi dengan kain. Aku selalu bolak balik mengeceknya. Selain karena
ingin main-main ama tuh bayi tikus, pengen juga melihat keadaannya, takutnya
ntar disangka ma kucing yang lewat, ada permen imut warnanya pink beraroma
tikus lagi nganggur tergeletak di dalam kardus. Karena mellihat gerak gerikku
yang mencurigakan, sering bolak balik di samping rumah, abangku nanya,
“Ngapain disitu?”
“Gak ada apa-apa!”
“Trus ngapain bolak
balik?”
“Yeee, emang kenapa kalo
bolak balik?”
Habis itu dia gak
nanya-nanya lagi. Tapi gak disangka,itu strateginya dia agar aku gak tahu kalo
dia udah curiga berat dari tadi. Perasaanku jadi gak enak. Di saat aku lengah,
dia ngintip ke samping rumah. Dia curiga kalo-kalo aku melihara kucing lagi. Ia
buka kardus kecil yang kututupi kain dan teriak “Arrgggrrhhhh, tikuuuuus!
Menjijikkaaaan!!” Aku langsung menghampirinya dan memelas agar ibu jangan
diberi tahu, dia sih mengiyakan, tapi begitu ibu pulang, dia akhirnya ngadu
juga, dasar! Perusak kebahagiaan orang! Walhasil, aku kena omel ibu, malah
lebih parah dari omelan kalo melihara kucing. Akhirnya, si bayi tikus hanya
bertahan semalam saja bersamaku, besoknya aku kembalikan ke tempat semula, hiks,
Good bye my little tiny smelly pinky mouse. Yah, kali-kali aja induknya juga
khawatir nyari anaknya yang dibawa lari anak perempuan yang depresi gara-gara
ditinggal mati kucing-kucingnya.
Lanjut masih ke kucing
lagi. Pernah juga nemu anak kucing. Lucu deh! (kayaknya gak ada anak kucing
yang gak lucu bagi aku, kecuali yang matanya belekan, hehehe) si anak kucing
lagi nongkrong di pinggir jalan. Waktu itu pulang sekolah, eh naluri
kekucinganku (halah!) muncul, aku minta temanku berhenti sebentar dan meminta
ia membuka tasnya, rencananya sih ingin bawa pulang tuh anak kucing ke rumah.
Berhubung tasku kecil, akhirnya kuminta temanku yang tasnya lumaya gede itu
untuk diisi anak kucing ke dalamnya. Ia langsung nolak, bilangnya sih juga
kasihan ma anak kucingnya, tapi gak mau juga tasnya dipake buat anak kucing
numpang sebentar aja (huuuuuuhhh..!) Karena letak rumahku yang masih
jauh, dan gak mungkin aku nenteng-nenteng tuh anak kucing sampai ke rumah,
khawatir ia takut, ngamuk n malah kabur, akhirnya, anak kucingnya kutaruh
kembali. Kali ini lebih jauh ke pinggir jalan, takut diserempet kendaraan yang
lewat. Dengan berat hati, aku tinggalkan si kucing imut di situ. Hikss..
Pengalamanku bersama
kucing berlanjut hingga remaja, semasa SMA, aku punya anak kucing lagi. Ada
kucing hamil yang nyasar ke rumah dan ketemu gadis baik hati yang mengangkatnya menjadi
peliharaannya =) Setelah, si kucing melahirkan, aku sendiri yang berbaik hati
memberi anaknya itu sebuah nama. Setelah mengetuk palu, kuputuskan, bayi kucing
itu kuberi nama ‘Cinnong’. Baru pertama kali aku menamai kucingku. Dulu-dulunya
kalo mau manggil cuman bilang “ck,ck,ck,ck..puusss,puusss” ditambah dentingan
bunyi piring, si kucing pasti lari ke arahku. Oh iyah, dulu aku juga pernah
melihara ayam Bangkok, pemberian ayah yang merupakan hadiah dari temannya.
Weeitts, itu ayam jantan tergagah yang pernah kulihat. Ukuran tubuhnya besar,
bulunya mengkilat berwarna merah dan hijau dengan dominasi warna hitam, tajinya
tumbuh sempurna di cekernya, tajam, dadanya membusung (sombong buanget
pokoknya), kalau berkokok, bisa membangunkan seisi kampung! Aku beri nama
“Koko”, sekokoh tubunya. Ibarat kalo Koko itu manusia, ia pasti seorang
laki-laki tampan dengan tubuh tegap yang sempurna! (tapi maaf, sy masih normal,
jadi gak mungkin jatuh cinta ma ayam jantan, hehe)mungkin saja si Koko adalah
titisan Sultan Hasanuddin ya? (Si ayam jantan dari timur :-)) saking
sempurnanya si Koko untuk ukuran ayam, tiap kali ia dilepas sore hari di
samping rumah buat nyari makanannya sendiri (supaya dia gak stres kalo ditaruh
di kandang mulu) kalo ada orang yang lewat n melihat Koko, pasti orangnya
mampir dulu, merhatiin Koko yang berjalan mondar mandir sambil membusungkan
dadanya,senang banget dia jadi pusat perhatian! Hehehe. Akhirnya si Koko jadi
bahan tontonan orang-orang yang tadinya mau lewat, mampir dulu nonton si Koko
nyari makan. Tidak jarang, ada beberapa orang yang nawar Koko buat dibeli,
bahkan ada yang berani bayar mahal. Tapi ayah tetap gak mau ngasih. Lagian
juga, kalo Koko dijual, lha terus aku main ama siapa lagi?? (jangan dianggap
orang aneh ya, kalo aku lebih sering main sama binatang ketimbang sama manusia
:D ) tapi hidup Koko juga berakhir tragis! Bukan berakhir di penggorengan atau
di panci masak ibu. Tapi, Koko mati karena sakit, hooooooaaaaaah,hiks,hiks, T_T
si Koko dikubur di samping kuburan kucingku yang dulunya juga mati karena
sakit, tepat di bawah pohon mangga, depan rumah. Hiks..
Kembali ke kucing.
Cinnong seeokor kucing betina, warnya dua macam saja, hitam dan putih. Induknya
yang pertama aku pelihara dan setelah Cinnong lahir, ia sering berada di
belakang rumah, menikmati hari-harinya bersama induknya. Induknya Cinnong, tipe
kucing yang jinak n akrab, yang suka menggosokkan badanya ke kakiku setiap aku
menjenguknya di belakang rumah. Entah kapan si induk Cinnong, melahirkan di
sebuah kardus bekas tempat mie instan di belakang rumahku. Waktu ketemu
induknya Cinnong, ia sudah hamil duluan. Mungkin karena aku dah akrab, rumahku
menjadi pilhan tempatnya melahirkan Cinnong. Cinnong, anak kucing satu-satunya,
jarang aku melihat kucing punya anak tunggal. Biasanya satu induk kucing bisa
memproduksi sampe lima ekor anak kucing. Induknya Cinnong sempat sih ngomong
gini “Aduh, neng, saya udah sering ngelahirin anak banyak. Gak papa kan
skali-skali satu aja. Lagian, mungkin ini sudah rejeki saya!”. Hanya orang gak
waras kalo percaya ada kucing yang bisa ngomong kayak gitu, hehehe. Kebahagiaan
kembali berada di rumahku,cihuy! maen ma Cinnong dan induknya,
asyik,asyik,asyik! Tiap pulang sekolah, yang pertama aku cari adalah kucingku!
Habis di rumah emang gak ada siapa-siapa selain kucing, hehehe. Jadi suka
terharu juga kalo liat Cinnong dan induknya, dikunjungi oleh ayah biologis
Cinnong. Kadang-kadang mereka bertiga suka bertengger di tembok samping rumah
dengan latar sunset yang terbenam berwarna oranye terang.Hmm, suatu senja yang
indah untuk satu keluarga kucing yang bahagia cooo ciiitt..! yah, tapi
dasar emang binatang. Bapaknya Cinnong, kabur, sama kucing betina yang lain.
Induk Cinnong jadi uring-uringan, suka pulang tengah malam, dan sering telat
menyusui anaknya (ini kisah kucing atau sinetron sih? ) dan akhirnya si induk
pun pergi meninggalkan Cinnong, hikss. Tapi, tenang…masih ada aku kan,
Nooonnggg! Ya gak?! Jangan sedih ya!
Tinggallah aku bersama
Cinnong berdua menjalani hidup kami di sebuah halaman belakang setiap aku
pulang sekolah. Tapi, aku dan Cinnong, kadang-kadang gak akur, tiap kali aku ke
sekolah, tanda bekas cakar Cinnong sering menghiasi wajahku. Teman-teman
sekolah, sudah maklum ketika aku datang dengan wajah yang hampir tiap hari
penuh dengan cakaran. Kadang-kadang belum kering luka cakar yang satu, eh
Cinnong berulah lagi, nyakar lagi. Mungkin karena wajahku yang imut-imut dan
ngangenin kali ya?, jadi Cinnong pengen nyubit tapi kucing kan hanya punya cakar
(positif thingking aja deh!) . Cukup lama, aku bersama Cinnong, sejak aku duduk
di kelas satu bangku SMA, hingga aku menginjak bangku kuliah, Cinnong masih
terus di rumah. Oh iya! Gara-gara melihara kucing bernama Cinnong, akhirnya
nama Cinnong itu melekat juga padaku. Kakek, tante, om, ayah, ibu dan lainnya,
sering manggil aku dengan panggilan ‘Bosnya Cinnong’ wakakakaka :D lucu juga
diberi gelar kayak gitu. Dan lama kelamaan akhirnya dipanggil juga dengan nama
yang sama dengan kucingku ‘Cinnong’. Tau gak Cinnong itu artinya apa? Cinnong
dalam bahasa Bugis, artinya ‘jernih’. Kucingku punya mata yang jernih berwarna
abu-abu (gak belekan :-)) kadang-kadang aku suka menatap lama ke matanya
Cinnong, habis itung-itung bisa cermin juga. Bulunya amat sangat halus, walau
punya dua warna, hitam dan putih, tapi didominasi berwarna putih bersih. Aku
juga sering mendengar kata Cinnong dari mulut ibu. Setiap kali ibu gemas
melihat sesuatu yang imut dan lucu (baik itu manusia ataupun benda mati) secara
tidak sadar, ia langsung berkata “Ihhh…cinnong-cinnongnya!” (dengan logatnya
sendiri). Jadi aku mengambil kesimpulan, jika cinnong adalah sesuatu yang imut,
lucu dan menggemaskan. Tapi artinya akan seperti itu jika dibahasakan ke dalam
bahasa Toraja (ibu berasal dari suku Toraja asli). Sebenarnya lebih tepat jika
‘cinnong’ dalam bahasa Toraja digunakan sebagai ungkapan atau bentuk ekspresi
saja, daripada diartikan sebagai sebuah kata. Tidak ada arti sebetulnya
atau arti kata yang tepat untuk kata ‘cinnong’. Ibuku hanya sering
menyebutkannya untuk mengekspresikan kesannya terhadap sesuatu yang imut-imut
dan menggemaskan. Yah, kira-kira seperti itulah. Wallahu’ alam Setiap kali melihat Cinnong pun, sama seperti
ibu, spontan saja aku berkata, “aduh! Kucingku, cinnong-cinnongnya!” artinya
kucingku yang imut, lucu, menggemaskan dan pengen kuremessss, hehehehe.
Cinnong satu-satunya
kucing yang paling lama bersamaku. Cinnong pun akhirnya melahirkan dua ekor
kucing lagi. Sepasang pula! Cinnong ikut program KB kali, dua anak cukup!
Hehehehe. Aku memberi nama pada kedua kucing pendatang baru di rumahku. Untuk
kucing jantan, kuberi Cinnong 1 dan kucing betina, kuberi nama Cinnong 2, gak
kreatif banget, bukan?? Hahahaha… :D entahlah, buatku, bukan perkara mudah
memberi nama pada hewan, harus ada feelnya gitu lho (halah!) nasib Cinnong,
sama dengan ibunya, ia juga pergi entah kemana, menghilang begitu saja,
hooooaaaaahhhh..hiks T_T padahal sudah senang karena sudah punya tiga ekor kucing.
Bagiku, Cinnong adalah kucing yang paling berkesan buatku, karena sejak
induknya hamil sampai si Cinnongnya yang hamil, ia sudah berada di rumahku.
Sudah tiga generasinya yang aku pelihara. Ia juga yang menjadi teman bermainku
di rumah, sekaligus teman berkelahi di saat Cinnong lagi semangat-semangatnya
bermain. Ia juga sudah terkenal di seluruh keluargaku. Jika ada keluarga yang
berkunjung ke rumah, tak lupa juga menanyakan kabar Cinnong padaku.
Oooh..Cinnong, where are u now?? I miss soooo
much . Jadi,
aku sekarang punya dua anak kucing warisan Cinnong padaku. Cukup lama sepasang
anak kucing itu aku pelihara. Dan sudah cukup lama aku bertahan dari amukan
marah sang ibu, jika anak-anaknya cinnong buang air di pot dan di bunga
kesayangan ibu. Bila pintu menuju halaman belakang dibuka , hmm,
baunyaaa..semerbak bau kotoran kucing yang menggantung pekat di udara, walau di
halamannya sendiri, penuh dengan berbagai macam bunga-bungaan milik ibu. Hanya
aku satu-satunya yang tahan dengan bau itu sampai beberapa lama. Sampai suatu
hari seisi rumah berbau air seni kucing! Dan guess what?? Ibu ngamuuukk!
Setelah diselediki, ternyata eh ternyata, kain pel yang kupakai untuk mengepel
seisi rumah telah dikencingi kucing! (-_-!)’’ Sekarang rumah yang sudah bersih
lantainya, namun dengan bau gak enak dan mau bikin muntah, harus kupel lagi
dari awal. Sejak itu, ibu ngotot kalo dua ekor kucing itu, harus disingkirkan.
Awalnya aku gak mau, karena kalo mereka dibuang, mereka akan makan apa
nantinya? Dimana mereka akan tinggal? Siapa yang akan memandikan?
Dsb,dsb..akhirnya, demi kedamaian seisi rumah, aku mengalah. Dua kucingku harus
dipindahkan (aku tak mau menyebutnnya dibuang) ibu menyarankan, dipindahkan ke
dekat pasar saja, disana mereka pasti takkan kekurangan makanan. Dan itu
terakhir kalinya, aku memelihara kucing.
Sekarang aku sudah tidak
memelihara kucing lagi. Belum ada kucing yang pas dihati, hehehe. Tapi, masih
suka gila kalo liat kucing. Kalo ketemuan di jalan, bawaannya pasti dipanggil
dengan harapan mudah-mudahan kucingnya akan ikut ke rumah, hehehehe. Sekarang
ini aku tinggal bolak balik dari rumah kontrakan ke rumah yang sebenarnya yang
sementara direnovasi. Perjalanan dari rumah kontrakan ke rumah yang lagi dibangun,
kira-kira ada satu km. dan tebak! Sepanjang perjalan melewati lorong menuju
rumah, buaaaannnyak kucingnya! Asyik,asyik,asyik! Aku bisa betah berlama-lama
dengan kucing-kucing komplek itu. Kalo aku lewat dan melihat beberapa ekor
kucing yang lagi nyantai-nyantai di pinggir jalan komplek (walau di pinggir
jalan, kucingnya bersih-bersih, tapi sayang gak jinak karena tiap kali mau
dibelai, kucingnya malah kabur!) waktu tempuh perjalanan biasanya hanya makan
sekitar 15 menit, tapi aku biasanya menghabiskan waktu hampir setengah jam,
ngapain lagi, kalo bukan nge-godain kucing komplek dulu! Orang-orang di komplek
itu barangkali udah biasa dengan perempuan berjilbab suka jalan sendiri di
depan rumah mereka sambil teriak-teriak, “Ck,ck,ck,ck..pusss,pusss,pusss!” setelah
itu tidak berapa lama kemudian segerombolan kucing komplek (sekitar 5-6 ekor)
akan mengikutiku! Hahahah…dikiranya kali kucing-kucing itu, aku mau
nyebar-nyebar rejeki ikan gratisss! Lucu juga, diikutin kucing sebanyak itu
dari belakang! hihihihi..
Berharap suatu hari nanti, bisa punya penampungan yang besar untuk kucing-kucing
jalanan..Aamiin ^_^