Penampakan bubur ayam jakal ueeenaaakkk |
Akhir-akhir ini
sarapan jam 6 pagi itu adalah sebuah kebiasaan yang baru buat saya. Bukan
disengaja, apalagi untuk mencanangkan kampanye “Awali Hari Anda Dengan Sarapan
Bergizi” atau menggalakkan hidup sehat berawal dari sarapan di pagi hari (ya
iyalah, mana ada sarapan di malam hari) tapi lebih bisa disebut terpaksa. Ya, terpaksa. Mengapa demikian? Jadi begini
ceritanya. Ada sebuah penjual bubur ayam di Jalan Kaliurang yang termahsyur
dimana-mana. Rasanya enak dan bukan hanya diakui oleh saya saja, tapi juga
orang lain yang sering memenuhi tempatnya. Tempat jualannya bukan sebuah bangunan
permanen, tapi hanya sebuah gerobak biasa dan beberapa kursi plastik. Terakhir
bubur ayam ini pindah, dikarenakan halaman yang dulu digunakan untuk berjualan
sudah memiliki pemilik baru yang punya usaha, halamannya tidak bisa digunakan
untuk berjualan bubur ayam lagi. Akhirnya pindahlah ia beberapa meter lebih
jauh dari kos saya, tetapi loyalitas saya sebagai konsumen tidak perlu
diragukan, walau hanya pindah sedikit lebih jauh, saya masih setia berjalan dengan
mata terkantuk-kantuk di pagi yang dingin demi semangkuk (atau dua mangkuk)
bubur ayam yang enak itu. Selesai makan
bubur ayam, mata saya biasanya langsung “ON” alias tidak ngantuk lagi, apalagi
kalau makan sambel kebanyakan, saya malah jadi bolak balik WC.
Namun,
disayangkan bubur ayam yang enak, pembeli yang banyak tidak disertai dengan
jumlah kursi yang memadai. Untuk yang satu ini, saya pernah mengalami kejadian
yang tidak menggenakkan dengan seorang
ibu. Seorang ibu yang tanpa merasa bersalah, mengambil kursi saya (jelas-jelas
itu kursi saya dan dia tahu itu) ketika saya ingin kembali ke kursi MILIK saya dari
mengambil sambel dengan semangkuk bubur ayam yang masih panas di tangan, kursi
MILIK saya tiba-tiba sudah berpindah ke ibu itu, saya pikir ketika melihatnya
saja walau tanpa meminta, dia bakal merasa tidak enak. Eh, ternyata ibu itu sudah
mati rasa. Ya sudahlah, dengan sopan saya minta kursi MILIK saya kembali, tapi
si ibu malah mengarahkan saya untuk “merebut” kursi milik seorang bapak yang
juga meninggalkan kursinya untuk mengambil sambel (what the..? -_-) tentu saja
saya menolak. Yaa, saya tetap meminta
kursi saya dikembalikan, ia memang mengembalikan kursinya, tapi dengan cara
ditendang (ikkhh..ibu itu bikin gemes deh. >_<) Selesai makan, saya
komplain ke mas penjual bubur ayam supaya kursinya ditambah, sekalian curhat
kalau kursi milik saya tadi direbut sama ibu-ibu. Ternyata perebutan kursi
tidak hanya terjadi di DPR, tapi juga di tempat jualan bubur ayam.
The Power of
Bubur Ayam. Membuat saya (ketika tidak ada kuliah) harus cepat-cepat tidur agar
tidak telat keluar pagi-pagi sekali untuk mendapatkan suasana tentram untuk
sarapan. Sarapan di tempat terbuka dengan udara pagi yang masih bersih, kursi
masih kosong, bubur ayam yang masih mengepul dan sate ampela yang masih banyak),
membuat saya yang notabenenya orang paling malas keluar nyari makan siang dan makan malam, (kalau
rajinnya kambuh, makan pagi, siang dan malam dirapel ke makan sore) tapi paling
rajin keluar nyari sarapan karena bubur ayam. Membuat saya ikhlas mengosongkan perut dari siang-malam demi satu
misi esok paginya : Bubur ayam. The Power of Bubur Ayam yang membuat seorang
ibu berbuat curang kepada saya dan
menyuruh saya juga melakukannya ke pada
orang lain. Hahahehehoho.
Jika bubur ayam
ini tidak berjualan, saya kecewa sekali dan mungkin jutaan pembeli lainnya juga
begitu (kalau yang ini lebay) jika sudah begitu, saya hanya mampu menatap
kosong halaman tempat berjualan (dengan efek suara angin “wuzzz”) beberapa
orang ada yang berjalan kaki dan naik motor
juga mampir hanya mendapati halaman kosong tanpa gerobak hijau beserta
mas-masnya. Kalau sudah begitu, saya memilih balik ke kos tanpa bergairah
mencari alternatif sarapan lain. Saya hanya mau sarapan bubur ayam dan saya
hanya mau bubur ayam Jakal :) The Power of Bubur Ayam! (ˆڡˆ)
Sleman, 29 Mei
2013
0 komentar:
Posting Komentar