Tema minggu kelima ini pas sekali
dengan saya, weetss. Baru saja kemarin saya melakukan pendakian gunung pertama
saya di Merbabu di Jawa Tengah, tepatnya di Boyolali dan saya merasa saya telah
jatuh cinta karena pengalaman itu. Tulisan ini diikutkan pada 8 Minggu Ngeblog bersama Anging Mammiri, minggu kelima.
Ketika seorang teman mengajak saya
untuk mendaki gunung, saya seperti mendapat angin segar dan tanpa basi basi,
langsung saya iyakan ajakannya. Saya memulai minggu pertama setelah ajakan
mendaki gunung itu dengan olahraga walaupun tidak rutin dan inilah kesalahan pertama saya ketika memutuskan naik gunung. Sebelum mendaki, seharusnya memang dipersiapkan dengan olahraga yang cukup.
Tibalah hari yang saya tunggu. Hari
pendakian. Saya dan beserta rombongan
yang jumlahnya ada sekitar 20 orang berangkat dari Jogja menuju Jawa Tengah,
tepatnya di Boyolali. Kami menginap semalam di base camp dan memulai pendakian
pukul 08.00 pagi.
Bersama teman-teman mahasiswa dari Lombok |
Perjalanan pendakian pada awal hingga
menuju tempat pendirian tenda terasa seperti sesuatu yang musthail bagi saya. Setiap
tanjakan, setiap itu pula rasanya ingin menyerah saja dan ingin pulang saja.
Namun, ketika suara-suara teman di atas saya berteriak “sedikit lagi!”
sepertinya memberikan suntikan motivasi dan saya lalu mensugesti diri saya
bahwa saya bisa melakukannya hingga sampai ke tempat kami mendirikan tenda,
walau masih sedikit ragu apakah bisa hingga ke puncak.
Ketika hari telah mencapai senja dan
saatnya untuk sholat maghrib, kami akhirnya tiba dengan selamat dan keletihan
di tempat kami mendirikan tenda untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak
pukul 03.00 pagi. Ketika berhenti sejanak dan mellihat sekeliling, subhanallah
saya bisa melihat gunung paling aktif di dunia, Gunung Merapi dari dekat. Teman
saya berkata, “ini belum apa-apa, tunggu ketika kita tiba di puncak.” Belum
sampai di puncak pun, saya sudah jatuh cinta dengan pemandangan yang terhampar
di hadapan saya saat itu. Membuat saya terpesona. Rasa lelah dan hawa dingin
yang menusuk badan serasa tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang
saya rasakan.
Karena akan melanjutkan perjalanan
pada subuh harinya, kami memutuksan tidur lebih awal, pendakian yang lebih
terjal dan medan yang lebih sulit daripada yang pertama akan kami temui
nantinya.
Dan tibalah saatnya...
Pukul 01.30 kami semuanya dibangunkan,
sedikit briefing dan dimulai dengan doa, berangkatlah kami di subuh yang dinginnya
betul-betul menggigit. Di sinilah saya benar-benar merasa jatuh cinta, ketika
saya berhenti sejenak karena lelah saya mendongakkan kepala melihat langit
subuh yang bersih dengan taburan bintang yang banyak, ciptaan-Nya sungguh tidak
bisa saya gambarkan dengan kata-kata saya di sini. Lalu secara bergantian saya
menegok ke bawah, pemandangan tak kalah indah juga berada di sana, kerlap
kerlip lampu kota yang cantik tampak dari atas gunung, rasanya saya akan kuat
sampai di puncak jika ditemani pemandangan seperti ini.
Jam 05.00 subuh, beberapa meter
sebelum tiba di puncak, sebuah garis berwarna kuning muncul di langit, sebentar
lagi matahari akan terbit, kami tak mau melewatkannya, hal itu membuat kami
semakin mempercepat langkah kami walau kaki sudah merasa sakit. Sebelum
matahari benar-benar muncul, kami sudah tiba di puncak Merbabu. Terdengar teman-teman
yang berada di belakang yang belum tiba di puncak menyemangati diri dengan
meneriakkan salah satu dialog iklan, “pucuk! pucuk!”
Akhirnya tiba juga di titik 1.345 mdpl :) |
Matahari terbit di puncak |
Inilah kisah cinta pertama saya.
Cinta pertama pada alam lewat pendakian pertama saya. Cinta pertama tidak
melulu cinta monyet di waktu kecil dan terjebak pada perasaan melankolis atau
cinta pada materi yang punya harga mahal. Ada banyak bentuk cinta pertama. Cinta
pada alam tidak hanya pada pada tahap menikmatinya saja, namun juga mensyukuri
dan menjaganya. Berpetuanglah dan temukan cinta pertama mu :)
0 komentar:
Posting Komentar