Komoditas-komoditas Budaya : Televisi Sebagai
Industri Budaya
Dalam konteks media massa yang kapitalis sebagai
media yang berorientasi pasar sangat memegang peranan dan menjadi saluran utama
memopulerkan budaya baru atau budaya pop kepada masyarakat. Budaya pop
merupakan suatu bentuk budaya yang terbentuk akibat adanya suatu realitas yang
terkonstruksi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu identitas tertentu di
mana dengan adanya identitas tersebut manusia dapat menguasai dan
merekonstruksi pikiran orang lain dengan menanamkan berbagai macam ideologi
yang dimilikinya demi kepentingan individu dan golongan tertentu. Tentunya
individu yang sanggup melakukan hal tersebut hanyalah individu atau golongan
yang menguasai faktor produksi yang ada dan dapat mengendalikan media.
Budaya pop yang muncul tersebut tidak dapat
lepas dari sarana utama yang digunakannya, yaitu media massa. Dalam kajian
budaya, media massa merupakan salah satu saluran utama penyebaran ideologi dari
kaum-kaum tertentu. Oleh karena itu penyebaran tersebut dapat disebut juga
sebagai budaya media di mana menghegemoni masyarakat untuk satu dalam suatu
dunia tanpa batas ruang dan waktu (globalisasi).
Televisi sebagai contoh paradigma industri budaya
dan menelusuri produksi dan distribusi komoditas-komoditas atau teks-teksnya
dalam dua perekonomian yang sejajar dan semi otonom, yang biasa disebut
perekonomian finansial yang mengedarkan kemakmuran dalam dua subsistem) dan
perekonomian budaya yang mengendarkan makna dan kepuasan). Dengan demikian
kedua perekonomian tersebut dijelaskan sebagai berikut (Fiske, 2011: 28)
Perekonomian Finansial
Perekonomian Budaya
I
II
Produsen
studi Produksi
progam
audiens
Komoditas
program
audiens
makna/kepuasan
Konsumen distributor
pengiklan
makna/Kepuasan itu sendiri
Studio produksi menghasilkan komoditas, program, dan menjualnya kepada
distributor, jaringan radio atau televisi kabel untuk mendapatkan keuntungan.
Hal ini adalah pertukaran finansial sederhana yang berlaku bagi semua
komoditas. Namun, hal ini bukan akhir dari permasalahan, karena program
televisi, atau komoditas budaya, tidak sama dengan komoditas material seperti
pakaian dan furniture. Fungsi ekonomi program televisi belum lengkap ketika
dijual, karena dalam momen konsumsinya hal tersebut berubah menjadi produsen,
dan yang diproduksinya adalah audiens, yang kemudian dijual kepada pengiklan.
Bagi banyak orang, produk yang paling penting dalam industri budaya adalah
audiens yang terkomodifikasi, yang nantinya akan dijual kepada pada pengiklan.
(Smythe dalam Fiske, 2011:29) menyatakan kapitalisme telah memperluas
kekuasannya dari ranah kerja ke dalam ranah waktu luang. Akibatnya, menonton
televisi berarti ikut serta dalam komodifikasi masyarakat, dan bekerja sama
kerasnya seperti halnya pekerja di lini perakitan bagi kepentingan kapitalisme
komoditas. Argumen ini tetap mengacu pada pada logika bahwa basis ekonomi
masyarakat yang dapat menjelaskan makna-makna atau ideologi-ideologi yang
secara mekanistis ditentukan oleh basis tersebut.
Semua
komoditas bagi masyarakat konsumen memiliki nilai budaya serta nilai
fungsional. Ideologi perekonomian perlu diperluas untuk menjelaskan hal
tersebut. Ideologi perekonomian mencakup budaya di mana sirkulasinya bukan
merupakan sirkulasi uang, tetapi sirkulasi makna dan kepuasaan. Di sini audiens
yang tadinya menjadi komoditas kemudian menjadi produsen makna dan kepuasan.
Komoditas mula-mula (apakah itu program televisi atau celana jeans) dalam
perekonomian budaya adalah teks, struktur wacana, pelbagai kepuasan dan makna
potensial yang membentuk sumber utama budaya populer. Dalam perekonomian ini
tidak ada konsumen, hanya ada pengedar makna, karena makna merupakan
satu-satunya unsur dalam proses tersebut yang tidak dapat dikomodifikasi atau
dikonsumsi : makna dapat diproduksi, direproduksi, dan disirkulasikan hanya
dalam proses yang berlangsung terus menerus yang dinamakan budaya.
Altheide dan Snow (dalam McQuail, 2011:68) yang pertama kali menggunakan
istilah logika media (media logic) untuk
menangkap sifat alami sistem defenisi yang telah ada sebelumnya dari jenis
konten yang semacam apa untuk konten yang bagaimana. Kerja logika media
melibatkan eksistensi ‘tata bahasa media’ yang mengatur hubungan bagaimana
waktu sebaiknya digunakan, bagaimana konten seharusnya diurutkan dan alat apa
dari konten verbal dan nonverbal yang sebaiknya digunakan. Banyak elemen dari logika media berasal dari model penarik-perhatian atau
publisitas. Bagaimanapun terdapat kontribusi yang mandiri yang diambil dari
profesionalisme media, terutama ketika didefenisikan dalam istilah pembuatan
televisi yang ‘bagus’, film dan seterusnya. Media merupakan instrumen utama
untuk memproduksi ketenaran dan selebritas, baik dalam politik, olahraga atau
hiburan dan mereka juga terpesona karenanya. Hal ini seringkali pula muncul
sebagai sumber utama dan juga kriteria nilai, ketika diterapkan kepada
orang-orang, produk, atau pertunjukkan. Salah satu tenaga penggerak dari logika
media adalah penemuan sumber baru atau objek yang terkenal.Jika dikaitkan dengan dengan konten informasi, logika media menempatkan
kedekatan sebagai hal yang istimewa, misalnya film atau foto ilustratif yang
dramatis dalam tempo yang cepat dan komentar yang singkat (Hallin dalam
McQuail, 2011:69)
Lebih lanjut lagi Mc Quail menyimpulkan prinsip-prinsip utama logika media
adalah Kebaruan, kedekatan, tempo yang tinggi, personalisasi, singkat, konflik,
dramatisasi, orientasi pada pesohor.
Sehubungan dengan kapitalisme media massa, logika media adalah bagaimana
proses produksi media menghasilkan keuntungan. Croteau dan Hoynes (2003:58)
menyatakan di dalam sebuah sistem kapitalis, media massa fokus pada satu tujuan
yaitu kreasi produk yang akan menghasilkan keuntungan finansial. Orientasi laba
ini merupakan penjelasan sosiologis media massa. Bagaimanapun juga mereka
menyediakan konten di dalam sebuah media yang mana personil medianya yang
memutuskan konten apa yang akan ditunjukkan.
Todd Gitlin’s dalam Croteau dan Hoynes (2003:58) menyatakan bahwa salah satu
perlakuan sensitif bagaimana orientasi laba mempengaruhi produksi media adalah
dalam analisis jaringan televisi. Dalam Prime Time,
Gitlin mengeksplor proses pembuatan keputusan di tiga jaringan utama,
menunjukkan bahwa orientasi laba yang kemudian menetapkan kerangka kerja untuk
pengambilan keputusan pemrograman. Tujuannya agar eksekutif jaringan keuntungan
tetap stabil. Eksekutif akan mencapai keuntungan karena program siaran yang
akan menarik audiens yang lebih besar, menyebabkan waktu penjualan dari iklan
dengan harga premium.
Sebagai contoh dalam bagian untuk mendapatkan keuntungan yang stabil,
jaringan program mengikuti apa yang dinamakan dengan “logic of safety”
yang akan meminimalisir resiko kehilangan keuntungan program tersebut. Program
yang beresiko akan membuat audiens tidak tertarik bahkan yang paling parah
adalah para pengiklan. Para pekerja media harus terus berusaha agar program
yang mereka buat untuk bisa membuat keuntungan yang besar.
Selain format di media, Altheide dan Snow menyatakan grammar juga
termasuk di dalam logika media (Siapera, 2010: 81) Jika media format (genre) di
dalamnya adalah aturan-aturan untuk mendefiniskan, menyeleksi, mengorganisir,
dan mengenali informasi, maka grammar disini
mengacu pada cara di mana bahan dan produk media yang berbeda diletakkan
bersama-sama, jenis urutan yang mereka ikuti dan hubungan antara mereka.
Kesemua dari elemen ini merupakan cara yang berbeda untuk menyerap (membangun)
dunia. Menurut Altheide (dalam Siapera, 2010:81) organisasi media menggunakan
logika ini secara luas dengan hasil bahwa mereka mentransform setiap aspek atau
isu yang dikelola dengan cara yang kompatibel untuk logika media.Untuk memahami posisi media massa dalam sistem kapitalis, terlebih dahulu
harus dipahami asumsi-asumsi dasar media yang melatar belakangi media massa.
Pertama, institusi media menyelenggarakan produksi, reproduksi, dan distribusi
pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang mengandung acuan bermakna
tantang pengalaman dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini media massa memiliki
posisi yang begitu penting dalam proses transformasi pengetahuan.
Kedua ialah media massa memiliki peran mediasi antara realitas sosial yang
objektif dengan pengalaman pribadi. Media massa menyelenggarakan kegiatannya
dalam lingkungan publik. Pada dasarnya media massa dapat dijangkau oleh segenap
anggota masyarakat secara luas.Menurut McQuail (1987:40 ) salah satu ciri-ciri institusi media massa adalah
institusi media dikaitkan dengan industri pasar, karena ketergantungan pada
imbalan kerja, teknologi, dan kebutuhan pembiayaan. Dalam hal ini industri
pasar dapat diartikan dengan kapitalisme.Sistem kapitalis sebagai sistem yang dominan, baik di negara maju dan
berkembang, mengalami suatu perkembangan yang amat pesat dengan segala
konsekuensinya. Secara umum, seperti yang dialami negara-negara kapitalis,
sistem kapitalis modern pada dasarnya mengandung kontradiksi-kontradiksi
internal yang menyangkut peran media.
Media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalis yang
berorientasi pada keuntungan dan akumulasi modal. Karena media massa harus
berorientasi pada pasar dan sensitif terhadap dinamika persaingan pasar, ia
harus berusaha untuk meyajikan produk informasi yang memiliki keunggulan pasar,
antara lain informasi politik dan ekonomi. Di lain pihak media massa juga
sering dijadikan alat atau menjadi struktur politik negara yang menyebabkan
media massa tersubordinasikan dalam mainstream negara.
Contohnya, pada masa
Orde Baru media massa menjadi agen hegemoni dan alat propaganda pemerintah.
Ciri-ciri
khusus institusi media massa. Pertama, memproduksi dan mendistribusi
pengetahuan dalam wujud informasi, pandangan, dan budaya upaya tersebut
merupakan respons terhadap kebutuhan sosial kolektif dan permintaan individu.
Kedua, menyediakan saluran untuk menghubungkan orang tertentu dengan orang
lain, dari pengirim ke penerima, dari khalayak kepada anggota khalayak lainnya.
Ketiga, media menyelenggarakan sebagian besar kegiatannya dalam lingkungan
publik. Keempat, partisipasi anggota khalayak dalam institusi pada hakikatnya
bersifat sukarela tanpa adanya keharusan yang atau kewajiban sosial. Kelima,
institusi media dikaitkan dengan industri pasar karena ketergantungannya pada
imbalan kerja, teknologi, dan kebutuhan pembiayaan. Kelima, meskipun institusi
media itu sendiri tidak memiliki kekuasaan, tapi institusi ini selalu berkaitan
dengan kekuasaan negara karena adanya kesinambungan pemakaian media dengan
mekanisme hukum.
Di antara ciri-ciri media massa tersebut, yang erat sekali hubungannya
dengan topik pembahasan ini adalah keterikatan media massa dengan industri pasar
secara lebih luas dengan sistem kapitalis dan kapitalisme. Sistem kapitalis
sebagai sistem yang dominan, baik di negara maju maupun berkembang mengalami
suatu perkembangan yang amat pesat dengan segala konsekuensinya. Bahasan tentang konsekuensi sistem kapitalisme terhadap media massa tidak
lepas dari industri media massa itu sendiri dan prospek kebebasannya. Media
massa berkembang di antara titik tolak kepentingan masyarakat dan negara
sebelum akhirnya terhimpit di antara kepungan modal dan kekuasaan.
NEnt (Need for
Entertainment)
[It] is not
that television is entertaining but that it has made entertainment itself the
natural format for the representation of all experience. The problem is not
that television presents us with entertaining subject matter but that all
subject matter is presented as entertaining.
(Neil Postman, Amusing Ourselves to Death)
Membahas industri media dan komodifikasi terutama di televisi, tidak
bisa lepas dari peran audiens yang menjadi ‘korban’ dari komodifikasi hiburan di
media massa. Bahkan yang sudah di bahas di sebelumnya, Mc Quail sendiri
mengatakan jika audiens juga dijadikan komoditas kepada pihak pengiklan.
Semakin banyak audiens, maka pengiklan semakin tertarik dan berani membayar
mahal.
Manusia butuh hiburan. Klaim Neil Postman (Shrum, 2010:345)
mengamsumsikan bahwa tren untuk menyajikan “semua pokok bahasan sebagai
hiburan” tumbuh dari cara pemrosesan informasi yang berubah pada diri penerima
individual. Media hiburan telah semakin menjadi saluran yang mendorong
persuasivitas narasi-narasi publik (Green dan Brock dalam Shrum, 2010: 346) .
Jika orang memang berbeda dalam dorongannya terhadap media hiburan, maka
kemungkinan besar mereka yang lebih sering mencari hiburan bisa jadi lebih
rentan terhadap narasi-narasi publik yang sering membentuk persuasi media.
Proses-proses penerimaan pesan bisa jadi difasilitasi oleh NEnt:Pemberian
tempat bagi pesan persuasif di dalam sebuah narasi fiksional. Hal ini dapat
memiliki dampak deferensial tergantung besarnya disposisi penerimaan untuk
mencari dan mengonsumsi hiburan. NEnt tidak hanya memoderasi dampak pesan dalam
konteks hiburan tetapi juga menimbulkan ketergantungan yang mirip kecanduan,
dan dapat menganggu tujuan utama fungsi sosial lain, seperti edukasi.
Penulis Timothy C Brock dan Stephen D. Livingston dari Ohio University
(Shrum, 2010: 348) berpendapat, bahwa orang yang memiliki NEnt yang tinggi
bisa jadi lebih rentan kepada pembudakan adiktif oleh bentuk-bentuk hiburan
yang pasif seperti televisi. Hiburan merupakan industri media paling besar dan paling cepat berkembang
dan bahwa upaya-upaya komersial, agar dapat berhasil harus mampu menghibur dan
juga menjalankan fungsinya yang lain. Singhal dan Rogers (Shrum, 2010: 366)
menyatakan belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah bagaimana hiburan
begitu siap untuk diakses oleh banyak orang dengan waktu luang yang begitu
banyak.
Bisnis media merupakan bisnis yang begitu seksi, begitu menggiurkan sehingga
menjadi lahan untuk mengeruk keuntungan. Kemudahannya untuk diakses dan bahkan
dapat dinikmati dari berbagai kalangan membuat industri media tumbuh subur.
Komodifikasi konten hiburan di media massa tentu menjadi bahan jualan yang laku
yang mana disebabkan oleh kebutuhan akan hiburan yang cukup besar.
Referensi
Croteasu, David dan William Hoynes. 2003. Media Society 3rd Edition. USA. Sage Publication.
Devereux, Eoin. 2003. Understanding The Media. USA. Sage Publication.
Doyle, Gillian. 2002. Media Ownership. USA. Sage Publication.
Fiske, John. 2011. Memahami Budaya Populer. Yogyakarta. Jalasutra.
Fortunato, John A. 2005. Making Media Content. London. Lawrence Erlabum Associates Publishers.
Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media. Yogyakarta. Jalasutra.
McQuail, Denis. 1987. Teori Komunikasi Massa. Jakarta. Erlangga.
_______. 2011. Teori Komunikasi Massa Edisi 6 buku 1. Jakarta. Salemba Humanika.
_______. 2011. Teori Komunikasi Massa Edisi 6 buku 2. Jakarta. Salemba Humanika.
Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication 2nd Editon. USA. Sage Publication.
Rivers, William L & Jay W. Jensen. 2003. Media Massa dan Masyarakat Modern Edisi 2. Jakarta. Prenada Media.
Shrum, L.J. 2010. Psikologi Media Entertainment. Yogyakarta. Jalasutra.
Siapera, Eugenia. 2010. Cultural Diversity and Global Media. UK. Wiley-Black Well Publication.
Stanley J. Baran & Dennis K. Davis. 2000. Mass Communication Theory: Foundation, Ferment, and Future ed. 2nd. USA. Wadsworth.
1 komentar:
Terima kasih banyak karena sangat menginspirasi dan membantu saya dalam menyelesaikan skripsi :)
Posting Komentar