The ethics of political economy is
acquisition, work, thrift, sobriety — but political economy promises to satisfy
my needs. ...
(Marx Human, Needs & the division of Labour )
Karl Marx memang belum mengenal pers
sebelum menjadi media massa yang sekarang, namun tradisinya analisis Marxist terhadap media dalam
masyarakat kapitalis masih terus relevan. Kekuasaan adalah inti dari penafsiran
Marx mengenai media massa. Walaupun beragam, inti dari pertanyaan ini adalah
media merupakan instrumen bagi kelompok penguasa untuk mengontrol.
Teori
kapitalisme Marxist ini mengupayakan hubungan langsung antara kepemilikan
ekonomi dan penyebaran pesan yang meneguhkan legitimasi dan dari nilai
masyarakat kelas.
Istilah ‘ekonomi politik’ diartikan dengan
dua defenisi oleh Vincent Mosco :
political economy capture the wide range of approaches to the discipline. In the narrow sense, political economy is the study of the social relations, particularly the power relations, that mutually constitute the production, distribution, and consumption of resources, including communication resources. This formulation has a certain practical value because it calls attention to how the communication business operates. (Mosco, 2009 : 2)
Secara sempit istilah ekonomi politik
menurut Mosco sebagai memepelajari tentang hubungan-hubungan sosial, terutama
hubungan kekuasaan yang saling menguntungkan antara sumbersumber produksi,
distribusi dan konsumsi, termasuk didalamnya sumber-sumber yang terkait dengan
komunikasi.
Dari pendapat Mosco dapat dipahami
pengertian ‘ekonomi politik’ secara lebih sederhana, yaitu hubungan kekuasaan
(politik) dalam sumber-sumber ekonomi yang ada di masyarakat. Bila seseorang
atau sekelompok orang dapat mengontrol masyarakat berarti dia berkuasa secara de
facto, walaupun de jure tidak memegang kekuasaan sebagai eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Pandangan Mosco tentang penguasa lebih ditekankan pada
penguasa dalam arti de facto, yaitu orang atau kelompok orang yang
mengendalikan kehidupan masyarakat. Sedangkan dasar dari kehidupan sosial
adalah ekonomi. Maka pendekatan ‘ekonomi politik’ merupakan cara pandang yang
dapat membongkar masalah atas suatu masalah yang tampak pada permukaan.
Sedangkan Mc Quail memberikan defenisi mengenai teori politik
ekonomi. Merupakan pendekatan kritik sosial yang fokus utamanya pada hubungan
antara struktrur ekonomi dan dinamika industri media dan ideologi konten dari
media. Teori ini mengemukakan ketergantungan ideologi pada kekuatan ekonomi dan
mengarahkan perhatian penelitian pada analisis empiris terhadap struktur
pemilikan dan mekanisme kerja kekuatan pasar media. Menurut tinjauan ini,
institusi media harus dinilai sebagai bagian dari sistem ekonomi yang juga
bertalian erat dengan sistem politik. Kualitas pengetahuan tentang masyarakat,
yang diproduksi oleh media untuk masyarakat, sebagian besar dapat ditentukan
oleh nilai tukar pelbagai ragam isi dalam kondisi yang memaksakan perluasan
pasar, dan juga ditentukan oleh kepentingan ekonomi para pemilik dan penentu
kebijakan. Berbagai kepentingan tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk
memperoleh keuntungan dari hasil kerja media dan juga dengan keinginan bidang
usaha lainnya untuk memperoleh keuntungan, sebagai akibat dari adanya
kecenderungan monopolistis dan proses integrasi, baik secara vertikal maupun
horizontal. Sebagaimana halnya menyangkut minyak, kertas, telekomunikasi, waktu
luang, kepariwisataan, dan lain sebagainya (Mc Quail, 2011: 105)
Untuk memahami bagaimana penerapapan
pendekatan ekonomi politik digunakan dalam studi media massa , ada tiga konsep
awal menurut Mosco yang harus dipahami atau dapat dikatakan sebagai “pintu
masuk” ekonomi politik komunikasi, yaitu:
1. ‘Commodification’ – segala sesuatu
dikomoditaskan (dianggap barang dagangan).
2. ‘Spatialization’ – proses mengatasi
hambatan jarak dan waktu dalam kehidupan sosial.
3. ‘Structuration’ – penyeragaman
ideologi secara terstruktur.
Makalah ini fokus pada pembahasan
mengenai komodifikasi konten hiburan di media massa, khususnya televisi.
Dimana, segala sesuatu dapat dijadikan sebagai komoditas yang dapat memperkaya owner atau si pemilik media. Khalayak
pun semakin tidak sadar ketika mereka didikte mengenai apa yang harus mereka
tonton, karena mereka “merasa” perlu untuk menghibur sehingga inilah yang
membuat media kemudian mengkomodifikasikan konten demi dapat bersaing dan
meraih keuntungan yang sebesar-besarnya.
Isi media merupakan komoditi untuk
dijual di pasar, dan informasi yang disebarkan dikendalikan oleh apa yang ada
di pasar. Sistem ini mengarah pada tindakan yang konservatif dan cenderung
menghindari kerugian, yang membuat beberapa jenis programming tertentu dan
beberapa media menjadi dominan sementara yang lainnya terbatas atau kecil.
Konsekuensi keadaan seperti ini tampak
dalam wujud berkurangnya jumlah sumber media independen, terciptanya
konsentrasi pada pasar besar, munculnya sikap bodoh terhadap calon khlayak pada
sektor kecil.
Efek kekuatan ekonomi tidak langsung
dan terjadi secara acak, tetapi efeknya terjadi terus menerus. Pertimbangan untung dan rugi
diwujudkan secara sistematis dengan memantapkan kedudukan kelompok-kelompok
yang sudah mapan dalam pasar media massa besar dan mematikan kelompok-kelompok
yang tidak memiliki modal dasar yang diperlukan untuk mampu bergerak. Oleh
karena itu, pendapat yang dapat diterima berasal dari kelompok yang cenderung
tidak melancarkan kritik terhadap distribusi kekayaan dan kekuasaan yang
berlangsung.
Kekuatan utama pendekatan tersebut
terletak pada kemampuannya dalam menyodorkan gagasan yang dapat dibuktikan
secara empiris, yakni gagasan yang menyangkut kondisi pasar. Salah satu
kelemahan pendekatan ekonomi politik ialah unsur-unsur yang berada dalam
kontrol publik tidak begitu mudah dijelaskan dalam pengertian mekanisme kerja
pasar bebas. Walaupun pendekatan memusatkan perhatian pada media sebagai proses
ekonomi yang menghasilkan komoditi (isi), namun pendekatan ini kemudian
melahirkan ragam pendekatan baru yang menarik, yakni ragam pendekatan yang
menyebutkan bahwa media sebenarnya menciptakan khalayak dalam pengertian bahwa
media mengarahkan perhatian khalayak ke pemasang iklan dan membentuk perilaku
publik media sampai pada batas-batas tertentu.
Meskipun
pendekatan ekonomi politik yang berpusat pada aktivitas media sebagai sebuah
proses ekonomi mengarah pada komoditas (produk media atau konten), terdapat
varian pendekatan ekonomi politik yang menyarankan bahwa produk utama media
adalah khalayak. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa mereka menyampaikan
perhatian khalayak kepada pengiklan dan membentuk perilaku mereka dengan cara
tertentu (Smythe dalam Mc Quail, 2011 : 106)
Melalui pendekatan politik ekonomi,
hubungan komodifikasi di media massa, khususnya televisi dengan konglomerasi
kepemilikan dapat diketahui.
Komodifikasi
Komodifikasi
menurut Mosco merupakan sebuah proses transformasi hal yang bernilai untuk
dijadikan produk yang dapat dijual. Komodifikasi mendeskripsikan cara
kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi kapital atau menyadari transformasi
nilai guna menjadi nilai tukar. Komoditas dan komodifikasi adalah dua hal yang
memiliki hubungan objek dan proses, dan menjadi salah satu indikator
kapitalisme global yang kini tengah terjadi. Dalam ekonomi politik media
komodifikasi adalah salah satu bentuk penguasaan media selain strukturasi dan
spasialisasi (Mosco, 2009: 127). Contoh-contoh sederhana adalah, ketika
seseorang yang ingin menyatakan cinta pada orang yang disukainya kemudian
dibuatkan program acara, lalu disiarkan di televisi, acara-acara humor yang mengeksploitasi kebodohan justru
merupakan humor yang disukai masyarakat Indonesia dan tentunya sangat laku, komodifikasi kemiskinan
dalam acara reality show yang mengekploitasi orang-orang miskin, serta dan berbagai
macam bentuk komodifikasi yang kemudian menyuburkan industri media. Dan yang
paling parahnya kemudian, stasiun televisi lain pun ikut-ikutan untuk membuat
program acara yang sama dengan konsep yang berbeda. Serupa tapi tak sama.
Hubungan
komodifikasi dan komunikasi, dapat digambarkan dari dua dimensi hubungan. Yang
pertama adalah proses komunikasi dan terknologinya memiliki kontribusi terhadap
proses umum komodifikasi secara keseluruhan. Kedua adalah proses komodifikasi
yang terjadi dalam masyarakat secara keseluruhan menekan proses komunikasi dan
institusinya, jadi perbaikan dan bantahan dalam proses komodifikasi sosial
mempengaruhi komunikasi sebagai praktik sosial.
Proses
komodifikasi erat kaiannya dengan produk, sedangkan proses produksi erat dengan
fungsi atau guna pekerjanya, pekerja telah menjadi komoditas dan telah
dikomodifikasikan oleh pemilik modal. Yaitu dengan mengeskploitasi mereka dalam
pekerjaannya. Hal ini hanya satu bagian saja dari proses produksi. Maka dari
itu komodifikasi tak lain juga sebuah bentuk komersialisasi segala bentuk nilai
dari dan buatan manusia.
Konten Media:
sesuai dengan kepentingan media itu sendiri
Konten media selalu mencerminkan
kepentingan mereka yang membiayainya
(Dennis
Mc Quail, Mass Communication Theory)
Kenyataan ini dapat disimpulkan bahwa
penguasa sumbersumber media televisi adalah pengusaha. Ideologi dari aktivitas pengusaha
adalah menjual sesuatu untuk mendapatkan profit atau keuntungan. Tanpa
keuntungan perusahaan akan ditutup. Bisnis media sangatlah menggiurkan.
Penguasa sumber-sumber produksi media
massa dapat dilihat antara lain dari kepemilikian media massa, kepemilikan
rumah produksi penghasil acara-acara televisi. Kepemilikan media massa di
Indonesia dapat dilihat antara lain: Televisi Pendidikan Indonesia (TPI),
Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI), Metro TV, Media Indonesia, dimiliki
oleh kelompok usaha Bimantara. Majalah Cosmopolitan, Cosmo Girl, Hard Rock
FM dimiliki oleh kelompok usaha yang dikendalikan pengusaha Adiguna Sutowo.
ANTV dimiliki kelompok usaha Bakrie. Lativi dimiliki kelompok usaha yang
dikendalikan pengusaha A Latief. Indosiar dimiliki kelompok usaha Salim. Dari
contoh-contoh ini, dapat disimpulkan bahwa pemilik media bukan orang-orang yang
berlatar belakang pendidikan media, tetapi pengusaha. Rumah Prodksi yang
memproduksi tayangan televisi terbanyak adalah kelompok Multivision Plus yang
dikuasai oleh Raam Punjabi.
Media memilki kepentingan sendiri,
maka pesan yang disampaikan juga diatur sedemikian rupa. Misalnya saja teknik
profesional media melibatkan perepresentasian berita melalui penggunaan skema
naratif dan denotatif berulang. Asumsi yang diciptakan dari perepresentasian
tersebut berupa objektivitas, kebenaran dan pengetahuan tentang pemirsa untuk
menyerap versi tertentu mengenai dunia. Maka dari itu, media terkadang membuat
kita menjadi stereotip terhadap sesuatu karena banyak sekali aspek-aspek
tertentu yang media seleksi sebagai hal yang menurut mereka layak untuk
diberitakan, sementara ada juga beberapa aspek-aspek lainnya yang disisihkan
karena tidak sesuai dengan skema naratif dan denotatif berulang. Pemberitaan media mengenai konflik
antara politisi, kriminal melawan aparat atau sebaliknya (isu-isu negatif) pada
umumnya dibuat agar cocok dengan skema.
Bagi media, menyampaikan berita atau informasi dengan cara ini berarti
memberikan konsistensi dan menawarkan nilai yang sebelummnya memang ingin
ditawarkan oleh media kepada khalayak. Perepresentasian dapat membuat perasaan
khalayak yang membaca atau mendengarnya menjadi kuat dan kukuh serta berimajinasi
secara visual dalam kehidupan sehari-hari.
Hubungan
antara konten dan kepemilikan terletak pada pemilik media yang mempunyai
kekuatan untuk mengeliminasi jangka potensi dalam mempengaruhi konten. Tiga
cara utama mengapa kepemilikan media dapat
mempengaruhi keputusan pembuatan konten media yaitu : (1) mereka dapat mengatur
budget dan rutinitas organisasi media (2) dapat mengatur berita melalui proses
seleksi dan framing (3) memperkerjakan dan memberhentikan karyawan (Fortunato, 2005:
92)
Devereux
(2003: 63) kemudian menyimpulkan bahwa persepektif ekonomi politik menekankan
bahwa jika ingin mengerti konten media, dan khususnya karakter ideologisnya,
maka harus memulai dengan melihat lagi
secara lebih teliti kepemilikan dan kontrol industri media dan hubungan mereka
dengan sekelompok elit politik dan ekonomi dalam masyarakat. Jika budaya
produksi dijalankan, didominasi tanpa henti untuk mencari keuntungan dan dilakukan
oleh yang memiliki berbagai kepentingan ekonomi, maka perspektif ekonomi
politik menghantarkan kita untuk menyimpulkan bahwa yang menjadi korban adalah
konten media yang mana secara langsung menantang kepentingan kapitalis.
Menurut
Gillian Doyle (2002: 172) salah satu dari bahasan utama yang menjadi konsetrasi
dari kepemilikan media adalah resiko bagi demokrasi dan bagi sistem politik
yang lebih besar ketika pemilik media mendapatkan kontrol yang lebih di media.
Demokrasi akan terancam jika pemilik media mempunyai kekuatan mempropaganda
sebuah pandangan politik.
Ragam
kepemilikian media secara umum dilihat sebagai sebuah kondisi esensial untuk
membangun keberlanjutan pluralisme politik dan budaya. Pluralisme adalah sebuah
kunci objektif sosial namun bukanlah satu-satunya
alasan mengapa kepemilikan media itu penting. Hal itu menjadi penting karena
mempengaruhi cara dalam industri media mampu untuk memenej sumber daya yang
tersedia.
Efek
kepemilikan menurut Mc Quail (2011:254) efek kepemilikan dapat dipisahkan secara
efektif dari kontrol atau keputusan editorial. Keputusan yang lebih besar
(penjatahan) mengenai sumber, strategi bisnis, dan semacamnya diambil oleh
pemilik atau badan kepemilikan, sementara editor dan pembuat keputusan yang
lain dibiarkan bebas untuk mengambil keputusan profesional mengenai konten yang
merupakan wilayah keahlian mereka. Di beberapa situasi dan negara, terdapat
pengaturan lembaga perantara (msalnya pengaturan editorial) yang dirancang
untuk menjaga integritas kebijakan editorial dan kebebasan jurnalis. Dengan
kata lain, profesionalisme, kode perilaku, reputasi publik (karena media selalu
di dalam pengawasan publik), dan logika (bisnis) seharusnya menyelesaikan
masalah yang berkaitan dengan pengaruh pemilik.
Pada
akhirnya media komersial harus membuat keuntungan untuk dapat bertahan, dan hal
ini sering sekali melibatkan keputusan yang secara langsung memengaruhi konten.
Media yang dimiliki secara publik juga tidak terhindar dari logika yang serupa.
Faktanya adalah sebagian besar media swasta memiliki kepentingan pribadi dalam
sistem kapitalisme.
Bersambung...
4 komentar:
Wah bermanfaat sekali ini artikel. Ijin Copy - Paste ya... Loh kok bisa ya ?
Ekonomi Politik Media Massa
The ethics of political economy is acquisition, work, thrift, sobriety — but political economy promises to satisfy my needs. ...
(Marx Human, Needs & the division of Labour )
Karl Marx memang belum mengenal pers sebelum menjadi media massa yang sekarang, namun tradisinya analisis Marxist terhadap media dalam masyarakat kapitalis masih terus relevan. Kekuasaan adalah inti dari penafsiran Marx mengenai media massa. Walaupun beragam, inti dari pertanyaan ini adalah media merupakan instrumen bagi kelompok penguasa untuk mengontrol.
Tulisan bagus
Good writing
Good writing
Posting Komentar