Novel Sepatu Dahlan yang ditulis oleh Krishna Pabicara itu sesekali memaksaku menitikkan air mata. Entah aku yang terlalu perasa, cara pengisahannya yang sedih, ataukah memang kisahnya yang memilukan. Tapi, aku pikir ketiganyalah yang betul-betul menguras air mataku.
Kisah di dalamnya menceritakan
seorang anak desa yang tertatih-tatih dalam mengejar dua impiannya ; sepatu dan
sepeda. Cerita ini lalu mengingatkan ku pada masa kecilku yang bisa kukatakan
susah, walau tidak sesulit Dahlan, tokoh dalam novel Sepatu Dahlan.
Sungguh, jika aku bandingkan masa kecilku
dengan masa kecil Dahlan kecil, masih terlalu jauh.
Di novel itu juga menceritakan betapa patuh dan sayangnya Dahlan pada kedua orang tuanya. Orang tua Dahlan yang benar-benar hidup dalam kemiskinan, menguras tenaga untuk menghidupi anak-anak mereka.
Ada satu adegan di novel itu yang benar-benar membuatku terharu, ketika Dahlan mencoba mencuri uang simpanan Bapaknya yang disimpan sangat rapi di lemari almarhum ibunya, untuk membeli sepatu dalam rangka pertandingan volinya, namun Dahlan kemudian mengurungkan niatnya untuk mencuri uang Bapaknya, tapi tak disangka ketika uang yang hampir ia curi itu, pada akhirnya diberika juga oleh Bapaknya untuk menambah uang Dahlan membeli sepatu baru.
Benar adanya jika ada yang mengatakan, jika orang tua adalah malaikat tanpa sayap. Baik Ibu dan Ayah, mereka berdua adalah dua manusia luar biasa.
Di novel itu juga menceritakan betapa patuh dan sayangnya Dahlan pada kedua orang tuanya. Orang tua Dahlan yang benar-benar hidup dalam kemiskinan, menguras tenaga untuk menghidupi anak-anak mereka.
Ada satu adegan di novel itu yang benar-benar membuatku terharu, ketika Dahlan mencoba mencuri uang simpanan Bapaknya yang disimpan sangat rapi di lemari almarhum ibunya, untuk membeli sepatu dalam rangka pertandingan volinya, namun Dahlan kemudian mengurungkan niatnya untuk mencuri uang Bapaknya, tapi tak disangka ketika uang yang hampir ia curi itu, pada akhirnya diberika juga oleh Bapaknya untuk menambah uang Dahlan membeli sepatu baru.
Benar adanya jika ada yang mengatakan, jika orang tua adalah malaikat tanpa sayap. Baik Ibu dan Ayah, mereka berdua adalah dua manusia luar biasa.
Dulu, ketika aku dan abangku
masih kecil, kami berempat masih menumpang di rumah nenek. Ibu dari ayah. Rumah
yang sangat sederhana. Dengan dinding gamacca (anyaman bambu) yang menjadi
bagian dari rumah itu. Pernah sekali waktu ibu bercerita, dinding kamar yang
langsung berhubungan dengan lorong kecil di belakang rumah, seringkali di
dorong paksa oleh parakang (manusia jadi-jadian, diakibatkan ilmu hitam yang
pernah dipelajarinya) tiap malam, dengan suaranya yang seperti menghisap-hisap
sesuatu, ibu pernah bilang padaku, jika itu adalah air got yang ia minum.
Ibu tidak takut, ia melemparkan
garam ke arah dinding, dan mahluk itupun pergi. Aku bergidik mendengar
ceritanya. Kejadian itu pernah terjadi di suatu malam ketika aku demam tinggi.
Kami tidur bertiga : ibu, abang, dan aku. Ayah tugas jaga malam di tempat
kerjanya. Mahluk itu berjalan-jalan tepat di balik dinding gamacca kami,
bersuara aneh, sambil terus mendorong masuk dinding kamar. Aku mengigau,
meracau karena demamku yang semakin tinggi. Ibu meninggalkan kami sebentar
untuk mengambil garam di dapur dan melemparkan segenggam garam ke dinding, dan
tiba-tiba suara yang tak beraturan dan suara derap langkah kaki yang
tergesa-gesa menghilang perlahan.
Tapi aku tak mau bercerita
panjang tentang mahluk jadi-jadian itu. Aku hanya ingin bercerita masa kecilku
yang sederhana dengan ayah,ibu dan abangku. Yang beberapa kali harus
berpindah-pindah mengontrak rumah, berbagi rumah dengan kakek dan nenekku,
hingga kami punya rumah sendiri.
Aku masih ingat betul, rumah
kami-yang akhirnya-tidak mengontrak adalah rumah yang kecil dengan dua kamar.
Tiap ruangnya, dipisahkan dengan dinding tripleks, lantai semen dan yang masih
sama adalah dinding gamacca yang menjadi dindingnya. Yang lucu adalah dinding
gamacca kami tidak menyentuh lantai. Ada celah sekitar satu jengkal dari
lantai, sehingga kangkung yang tumbuh di empang belakang rumah kami, tumbuh
merambat masuk ke dinding rumah. Sebelum itu bertambah tinggi dan mengubah
rumah kami menjadi rumah seperti di dongeng dengan rambatan kangkung
disana-sini, ayah selalu memotongnya.
Tiap malam dengan penerangan
lampu minyak seadanya-waktu itu kami belum punya listrik- ibu lembur membuat
keripik singkong, keripik singkong ibuku paling enak, karena selalu laris. Ibu
menjualnya di kantin sekolah tempat ia bekerja, karena belum sekolah,
aku selalu ikut ibu ke kantornya. Seiap hari.
Malamnya, ibu sendirian saja
mengolah singkongnya. Dari membelinya di pasar, mengupas, mencuci, memotong,
membuat bumbu hingga keripik itu siap jual.
Uang hasil dari penjulan keripik
yang laris manis itu, semuanya, kemudian dibagi dua untuk aku dan abangku, tanpa
sisa seperser pun untuk ibu. Ibu yang bekerja keras membuat keripik singkong
itu sendirian, tidak pernah mendapatkan imbalan dari penjualannya. Semua hasilnya
diberikan untuk aku dan abangku agar kami dapat menabung membeli baju lebaran.
Jika melihat kondisi kami
sekarang, semua mimpi kami tentang rumah impian, terkabul sudah. Jika Dahlan dalam novel itu menginginkan sepatu dan sepeda yang sudah ia dapatkan setelah ia bekerja keras. Aku pun sudah mendapatkan yang aku inginkan. Ayah yang dulu
menginginkan sebuah kamar mandi di rumahnya, kini bahkan sudah mendapatkan
kamar mandi di kamar tidurnya sendiri. Ibu yang menginginkan rumahnya mempunyai
tembok batu, kini sudah tidak perlu khawatir jika ada angin kencang dan aku
yang dulu menginginkan lantai rumah kami mempunyai lantai keramik –saat masih
kecil,lantai keramik adalah hal mewah untuk kami- kini aku bahkan bisa
bercermin di lantai rumah kami. ^_^
Hidup ini penuh dengan
kejutan-kejutan yang tidak akan kita bayangkan sebelumnya, atau malah sudah
berada di khayalan, namun, tiba-tiba saja sudah berada di genggaman.
Life is beautiful by loving your parents :)
Yogyakarta, Jumat 28 September 2012
Kangen Orang Tua :'(
0 komentar:
Posting Komentar