Tahun
2012 lalu PT. Toyota Astra Motor
dianugerahi predikat sebagai The Best in Green Marketing oleh Majalah Marketing
sebagai perusahaan terbaik dalam mendukung isu-isu kepedulian terhadap
lingkungan. Penghargaan ini melengkapi predikat Toyota sebagai kendaraan rendah
emisi dan rendah konsumsi BBM oleh KLH Public Expose Langit Biru di tahun 2011.
Juga Eco Friendly Car oleh Otomotif
Award melalui Toyota Prius di tahun 2010. Sebelumnya Toyota juga memperoleh
Green Living Achievement oleh Autocar Reader Choice Award di tahu 2009.
Tiga
tahap penilaian telah dilakukan Toyota sehingga mendapat Predikat sebagai The
Best in Green Marketing, yaitu tahap nominasi, seleksi, dan penilaian.
Rangkaian tahapan tersebut didukung oleh data yang dikumpulkan dari riset,
berita dan penghargaan yang telah diraih, laporan tahunan, dan beberapa data
pendukung lainnya.
Predikat
The Best in Green Marketing menjadi pemacu bagi Toyota untuk konsisten
menggerakkan program-program terkait lingkungan. Termasuk melanjutkan program Car For Tree di Toyota Eco Island dan Toyota Eco Youth.
Toyota Car For Tree
merupakan sebuah program peduli
lingkungan dari Toyota dengan cara menggunakan sebagian keuntungan dari setiap
mobil yang terjual untuk didonasikan kepada lingkungan dalam bentuk pohon,
kemudian ditanamkan pada area seluas 15.127 m2 bernama Toyota Eco Island di Ancol
Eco Park, Jakarta Utara. Di tahap pertama, sudah lebih dari 500 jenis pohon
yang tertanam di area tersebut.
Toyota
juga memiliki program lain dalam bentuk kepedulian di bidang lingkungan hidup
untuk menanamkan dan meningkatkan kesadaran generasi muda akan lingkungan
bernama Toyota Eco Youth Program.
Program yang telah diimplementasikan sejak tahun 2005 ini bertujuan untuk menciptakan
sekolah sebagai role model untuk
pembelajaran lingkungan bagi sekolah-sekolah dan lingkungan di sekitarnya. Ada
5 aspek pengelolaan lingkungan dalam program ini yaitu, Regulasi, Kelembagaan,
Partisipasi, Teknologi, dan Pendanaan. Serta semangat Reduce, Reuse, Recycle.

"Toyota will respond to the needs of society and enrich people’s lives through the manufacture of automobiles. And we will never lose sight of our gratitude toward our customers and other stakeholders. Based on that mindset, we will aim to contribute to the building of a new automobile society in the twenty-first century by gathering together the capabilities of our dealers, suppliers, and affiliated companies in a combined effort of the entire Toyota group."
Toyota
sendiri telah berkomitmen untuk memberikan kontribusi terhadap lingkungan untuk
masa depan yang lebih baik melalui kegiatan mereka yang bertemakan green atau eco dengan aplikasi yang nyata.
Konsep
CSR Toyota terinci jelas di website CSR mereka di toyota-global.com. Terdapat
beberapa program yang CSR yang mereka lakukan seperti Toyota Social’s
Contribution Activity, Enviroment Responsibility, Vehicle Recycling, Toyota’s
Forestry, Eco Driving dan beberapa program lingkungan lainnya.
Dari
program-program mereka, terlihat Toyota fokus pada isu-isu lingkungan. Sebagai
korporat yang menghasilkan produk otomotif yang akan berdampak lingkungan
seperti emisi karbondioksida. Dengan teknologi yang dimiliki, Toyota secara
konsisten untuk menjaga lingkungan.
Tanggung jawab
Tanggung
jawab yang berkaitan dengan perusahaan dihadapkan dengan dua pemaknaan tanggung
jawab itu sendiri. Pertama, tanggung
jawab dalam makna responsibility atau tanggung jawab moral atau etis. Kedua, tanggung jawab dalam makna liability atau tanggung jawab yuridis atau
hukum.
Tanggung
jawab sosial lahir karena tuntutan dari tanggung jawab itu sendiri. Tanggung
jawab sosial berada pada ranah moral, sehingga posisinya tidak sama dengan
hukum. Moral dalam tanggung jawab sosial lebih mengarah pada tindakan lahiriah
yang didasarkan sepenuhnya dari sikap bathiniah, sikap inilah yang disebut dengan
“moralitas” yaitu sikap dan perbuatan baik yang betul-betul tanpa pamrih.
Sedangkan tanggung jawab hukum lebih menekankan pada kesesuaian sikap lahiriah dengan
aturan, meskipun tindakan tersebut secara obyektif tidak salah.
Bila
dikaitkan dengan teori tanggung jawab sosial dengan aktivitas perusahaan, maka
dapat dikatakan bahwa tanggung jawab sosial lebih menekankan pada kepedulian
perusahaan terhadap stakeholders dalam arti luas daripada sekedar kepentingan
perusahaan belaka. Dengan demikian konsep tanggung jawab sosial lebih
menekankan pada tanggung jawab perusahaan atas tindakan dan kegiatan usahanya
yang berdampak pada orang-orang tertentu, masyarakat, dan lingkungan di mana
perusahaan tersebut melakukan aktivitas usahanya (Wahyudi dan Azheri,2008)
Secara
umum, berbicara mengenai CSR dan Multi
National Corporations (MNC) di
Indonesia. MNC dalam konteks ini, merupakan sebuah korporat yang meluaskan
operasinya melewati batas negara asalnya, dan memiliki kepanjangan tangan, subsidiary
di negara lain. Lazimnya, MNC sering kali dianggap sebagai biang dari segala
pencemaran dan perusakan lingkungan. Oleh karena itu MNC itu dapat menjalankan
etika bisnis, terutama mendorong pada implementasi CSR tepat sasaran, bahkan
bila diperlukan, harus di atas hasil rata-rata perusahaan lain. MNC selalu
menjadi sorotan stake holders,
apalagi ditambah bahwa sekarang teknologi informasi sudah canggih dan akses
informasi sudah bisa mengakses informasi. Maka sejumlah isu dapat diangkat oleh
MNC seperti lingkungan, pluralisme, adat istiadat dan kearifan lokal.
Corporate Social Responsibility
Corporate Social Resposibility sebenarnya masih
tergolong hal yang baru, yaitu sejak diundangkannya UU No 40 tahun 2007 tentang
Perseroan Terbatas. Melalui undang-undang ini, industri atau koperasi-koperasi
wajib untuk melaksanakan CSR, tetapi kewajiban ini bukan suatu beban yang
memberatkan. Pembangunan suatu negara bukan hanya tangung jawab pemerintah dan
industri saja, tetapi setiap manusia berperan untuk mewujudkan kesejahteraan
sosial dan pengelolaan kualitas hidup masyarakat.
Pengertian CSR yang lebih komprehensif adalah dari Prince of Wales International Bussines
Forum yang di Indonesia dipromosikan dengan aktif oleh Indonesia Bussines
Links (IBL). Ada lima pilar aktivitas CSR :
(1)
Building
human capital yang berkaitan dengan internal
perusahaan untuk menciptakan sumber daya manusia yang handal, sedangkan secara
eksternal perusahaan dituntut melakukan pemberdayaan masyarakat.
(2)
Strengthening
economies.Perusahaan dituntut untuk tidak menjadi kaya
sendiri sementara komunitasdi lingkungannya miskin. Perusahaan harus
memberdayakan ekonominya sekitarnya.
(3)
Assesing
social governence adalah upaya untuk menjaga keharmonisan
dengan masyarakat sekitarnya agar tidak menimbulkan konflik.
(4)
Protecting
the environment adalah perusahaan harus berupaya keras
menjaga kelestarian lingkungan.
Tantangan
yang harus dijawab terkait hal tersebut adalah bagaimana membangun konsep CSR yang benar-benar efektif dalam
menjalankan fungsi sosial, namun tidak melupakan tujuan perusahaan untuk
mencari keuntungan. Selain itu, bagaimana membangun konsep CSR yang memiliki
dampak positif terhadap peningkatan keuntungan perusahaan, namun bukan berarti
semata-mata mencari keuntungan melalui kegiatan sosial sebagai alatnya.
Dari
beberapa pilar di atas, dapat dilihat bahwa semakin jelas konsep CSR cakupannya
lebih luas daripada sekedar pengembangan komunitas (Community Development) yang cakupannya pada komunitas yang berada
di lingkungan sekitar perusahaan. Perbedaan paling mendasar adalah bahwa di
dalam CSR, seluruh program yang dijalankan perusahaan berdasarkan aspek ekonomi,sosial
dan lingkungan. Kemudian, program yang dijalankan haruslah berjangka panjang
atau berkesinambungan. Perusahaan tidak sekedar membagi-bagi kedermawanannya,
melainkan berupaya menjaga programnya agar dapat berlangsung secara sustainable.
Konsep CSR memang sangat
berkaitan erat dengan konsep sustainability development (pembangunan
yang berkelanjutan). Konsep CSR memiliki arti bahwa selain memiliki
tanggung jawab untuk mendatangkan keuntungan bagi para pemegang saham dan untuk
menjalankan bisnisnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, suatu
perusahaan juga memiliki tanggung jawab moral, etika, dan filantropik.
Pandangan tradisional mengenai perusahaan melihat bahwa tanggung jawab
utama perusahaan adalah semata-mata terhadap pemiliknya, atau para
pemegang saham. Adanya konsep CSR mewajibkan perusahaan untuk memiliki
pandangan yang lebih luas yaitu bahwa perusahaan juga memiliki tanggung jawab
terhadap pihak-pihak lain seperti karyawan, supplier, konsumen,
komunitas setempat, masyarakat secara luas, pemerintah, dan kelompok- kelompok
lainnya. Dalam hal ini, jika sebelumnya pijakan tanggung jawab perusahaan hanya
terbatas pada sisi finansial saja atau single bottom line, kini dikenal
konsep ‘triple bottom line’, yaitu bahwa tanggung jawab perusahaan
berpijak pada 3 dasar, yaitu : finansial, sosial dan lingkungan atau yang juga
dikenal dengan 3P (profit, people, planet).
Konsep
Triple Bottom line (profit, people, planet)
Konsep ini memasukkan tiga ukuran kinerja sekaligus:
economic, environmental, social (EES)
atau istilah lainnya adalah 3P: “People-Planet-Profit”.
Tujuannya perusahaan tak hanya menjadi “economic animal”, tapi juga entitas yang
“socially and environmetally responsible.”
Ide di balik TBL ini tak lain adalah adanya
pergeseran paradigma pengelolaan bisnis dari “sharholders-focused” ke “stakeholders-focused”.
Dari fokus kepada perolehan laba secara membabi-buta menjadi perhatian pada
kepentingan pihak-pihak yang terkait (stakeholder
interest) baik langsung maupun tidak langsung dengan perusahaan.
Konsekuensinya, peran dunia bisnis semakin signifikan sebagai alat pemberdaya
masyarakat dan pelestari lingkungan.
Konsep triple
bottom line sekaligus mencoba menempatkan upaya pemberdayaan masyarakat dan
pelestarian lingkungan pada titik sentral dari keseluruhan strategi perusahaan
(bukan hanya dandanan atau tempelan semata). Konsep yang pernah ada yaitu :
mengumpulkan profit sebanyak-banyaknya, lalu dari profit tersebut, sisihkan
sedikit untuk kegiatan sosial dan pelestarian lingkungan. Dengan triple bottom line, maka pendekatannya
menjadi berbeda, tidak hanya sekedar mencari keuntungan, namun sejak awal perusahaan sudah menetapkan bahwa tiga
tujuan holistik—economic, environmental,
social—tersebut hendak dicapai secara seimbang, serasi, tanpa sedikitpun
pilih kasih.
Tabel 1 : Kegiatan Corporate Social
Responsibility
NO
|
Aspek
|
Muatan
|
1
|
Sosial
|
Pendidikan, pelatihan, kesehatan,
perumahan, penguatan kelembagaan (secara internal, termasuk kesejahteraan
karyawan) kesejahteraan sosial, olahraga, pemuda, wanita, agama, kebudayaan
dan sebagainya
|
2
|
Ekonomi
|
Kewirausahaan, kelompok usaha bersama/unit makro kecil
dan menengah (KUB/UMKM), agrobisnis, pembukaan, lapangan kerja,
infrasktruktur ekonomi dan usaha produktif lain.
|
3
|
Lingkungan
|
Penghijauan, reklamasi lahan,
pengelolaan air, pelestarian alam, ekowisata penyehatan lingkungan,
pengendalian polusi, serta penggunaan produksi dan energi secara efisien
|
Implementasi Corporate Social Responsibility
Implementasi
CSR merupakan keputusan strategis perusahaan yang secara sadar telah di desain
sejak awal dengan tujuan menerapkan lingkungan kerja yang sehat, kesejahteraan
karyawan, aspek bahan baku dan limbah yang ramah lingkungan, serta semua aspek
dalam menjalankan usaha yang menjamin tidak akan ada penerapan praktek-praktek
jahat. Dalam lingkup eksternal implementasi CSR harus dapat memperbaiki aspek
sosial dan ekonomi pada lingkungan sekitar perusahaan pada khususnya, serta
lingkungan masyarakat pada umumnya. Tanggung jawab eksternal ini menjadi
kewajiban bersama antar entitas bisnis untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat lewat pembangunan yang berkelanjutan. Maka tidak berlebihan jika CSR
dalam sebuah entitas bisnis adalah responsible business is good business. Pembangunan
industri sebenarnya memiliki dampak positif dapat menyerap tenaga kerja,
meningkatkan produktifitas ekonomi, dan dapat menjadi aset pembangunan nasional
maupun daerah. Namun kenyataan selama puluhan tahun praktik bisnis dan industri
korporasi Indonesia cenderung memarginalkan masyarakat sekitar, tetap tidak
bisa ditampik. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009,
mengenai permasalahan dan agenda pembangunan, menegaskan bahwa telah terjadi
ekses negatif dari pembangunan, yaitu kesenjangan antar golongan pendapatan,
antar wilayah dan antar kelompok masyarakat. Masyarakat yang sejak awal telah
miskin, kenyataannya semakin termarginalkan dengan kehadiran berbagai jenis
korporasi. Korporasi tidak melaksanakan CSR secara baik terhadap masyarakat.
Alih-alih melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar dengan melakukan community
development, korporasi cenderung membuat jarak dengan masyarakat
sekitar. Jika pun ada program yang dilakukan oleh korporasi, biasanya bersifat charity,
seperti memberi sumbangan, santunan, sembako, dan lain-lain. Program charity
ini menjadi dalih bahwa mereka juga memiliki kepedulian sosial. Dengan
konsep charity, kapasitas dan akses masyarakat tidak beranjak dari
kondisi semula, tetap marginal. Charity menjadi program yang tidak tepat
sasaran karena tidak bisa memutus rantai kemiskinan.
Dipandang dari segi moral hakikat manusia maupun
hakikat kegiatan bisnis itu sendiri, diyakini bahwa tidak benar kalau para
manajer perusahaan hanya punya tanggung jawab dan kewajiban moral kepada
pemegang saham. Para manajer perusahaan sebagai manusia dan sebagai manajer
sekaligus mempunyai tanggung jawab dan kewajiban moral kepada orang banyak dan
pihak lain yang berkaitan dengan kegiatan operasi bisnis perusahaan yang
dipimpinnya. Para manajer perusahaan mempunyai tanggung jawab dan kewajiban
moral untuk memperhatikan hak dan kepentingan karyawan, konsumen, pemasok,
penyalur masyarakat setempat dan seterusnya. Singkatnya, tanggung jawab dan
kewajiban moral para manajer perusahaan tidak hanya tertuju kepada shareholders
(pemegang saham) tetapi juga kepada stakeholders pada umumnya.
CSR di Indonesia
Salah
satu bentuk dari tanggung jawab sosial perusahaan yang sering diterapkan di
Indonesia adalah community development.
Perusahaan yang mengedepankan konsep ini lebih menekankan pembangunan sosial
dan pembangunan kapasitas masyarakat sehingga akan menggali potensi masyarakat
lokal yang menjadi modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Selain
dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga
kerja dengan kualifikasi yang diinginkan, cara ini juga dapat membangun citra
sebagai perusahaan yang ramah dan peduli lingkungan. Selain itu, akan tumbuh
rasa percaya dari masyarakat. Rasa memiliki perlahan-lahan muncul dari
masyarakat sehingga masyarakat merasakan bahwa kehadiran perusahaan di daerah
mereka akan berguna dan bermanfaat.
CSR
bukan hanya sekedar kegiatan amal, di mana CSR mengharuskan suatu perusahaan
dalam pengambilan keputusannya agar dengan sungguh-sungguh memperhitungkan
akibatnya terhadap seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) perusahaan, termasuk lingkungan hidup. Hal ini
mengharuskan perusahaan untuk membuat keseimbangan antara kepentingan beragam
pemangku kepentingan eksternal dengan kepentingan pemegang saham, yang
merupakan salah satu pemangku kepentingan internal.
Debut
CSR di Indonesia menguat setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40
Tahun 2007 yang disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di
bidang dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung
jawab sosial dan lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
Implementasi
CSR di indonesia dalam praktiknya, memang charity
dan community developmentlah yang
dikenal lebih dahulu terkait interaksi perusahaan dengan lingkungan sekitarnya.
Serta, kebutuhan perusahaan untuk lebih dapat diterima masyarakat. Sementara
itu, lebih jauh CSR dapat dimaknai sebagai komitmen dalam menjalankan bisnis
dengan memperhatikan aspek sosial, norma-norma dan etika yang berlaku, bukan
saja pada lingkungan sekitar, tapi juga pada lingkup internal dan eksternal
yang lebih luas. Tidak hanya itu, CSR dalam jangka panjang memiliki kontribusi
positif terhadap pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan meningkatnya
kesejahteraan.
Memang
ada pendekatan yang berbeda-beda terhadap ketentuan dan pelaksanaan CSR. Dari
sisi pendekatan, misalnya, ada community
based development project yang lebih mengedepankan pembangunan keterampilan
dan kemampuan kelompok masyarakat. Ada pula yang fokus pada penyediaan
kebutuhan sarana. Dan, yang paling umum adalah memberikan bantuan sosial secara
langsung maupun tidak langsung guna membantu perbaikan kesejahteraan
masyarakat, baik karena eksternalitas negatif yang ditimbulkan sendiri maupun
yang bertujuan sebagai sumbangan sosial semata.
Berdasarkan
pengamatan terhadap praktik CSR selama ini di Indonesia tidak semua perusahaan
mampu menjalankan CSR sesuai filosofi dan konsep CSR yang sejati. Tidak sedikit
perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR.
Pertama,
kamuflase. CSR yang dilakukan perusahaan tidak didasari oleh komitmen sejati,
tetapi hanya untuk menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi perusahaan
seperti ini, community development hanya
sekedar topeng semata.
Kedua,
generik. Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan
berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain.
Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan
cenderung melakukan copy-paste
terhadap model CSR yang dianggap mudah dan pastinya menguntungkan perusahaan.
Ketiga,
directive. Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top-down dan hanya berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program CSR tidak
partisipatif sesuai prinsip stakeholders
engagement yang benar.
Keempat,
lip service. CSR tidak menjadi bagian
dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya, program CSR tidak didahului
oleh needs assessment dan hanya
diberikan berdasarkan belas kasihan. Laporan tahunan CSR yang dibuat Enron dan
British American Tobacco (BAT), misalnya, pernah menjadi sasaran kritik sebagai
hanya lip service belaka.
Kelima,
kiss and run. Program CSR bersifat ad hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat
diberi “ciuman” berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan
begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat, berjangka pendek, dan
tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi sosial.
CSR
yang ideal memadukan empat prinsip good corporate
governance, yakni fairness,
transparency, accountability, dan responsibility, secara seimbang dan
harmonis Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven karena lebih memerhatikan kepentingan pemegang
saham perusahaan.
Mengingat
CSR sulit terlihat dengan kasat mata, maka tidak mudah untuk melakukan
pengukuran tingkat keberhasilan yang dicapai. Oleh karena itu diperlukan
berbagai pendekatan untuk menjadikannya kuantitatif dengan menggunakan
pendekatan Triple Bottom Line atau Sustainability Reporting. Dari sisi
ekonomi, penggunaan sumber daya alam dapat dihitung dengan akuntansi sumber
daya alam, sedangkan pengeluaran dan penghematan biaya lingkungan dapat
dihitung dengan menggunakan akuntansi lingkungan.
Terdapat dua hal yang dapat mendorong
perusahaan menerapkan CSR, yaitu bersifat dari luar perusahaan (external drivers) dan dari dalam
perusahaan (internal drivers).
Pendorong dari dalam perusahaan terutama bersumber dari perilaku manajemen dan
pemilik perusahaan (stakeholders),
termasuk tingkat kepedulian atau tanggung jawab perusahaan untuk membangun
masyarakat.
Menyusun Program CSR
DeMartinis
Reza (Rahman, 2009) menyebutkan beberapa langkah yang dilakukan oleh perusahaan
nonprofit dalam menyusun program CSR, yang merumuskan komunitas, menentukan
tujuan, menyusun pesan yang hendak disampaikan, memilih metode penyampaian
pesan yang paling efektif, realisasi program, dan analisis hasil atau evaluasi.
1. Merumuskan
komunitas organisasi
Langkah-langkah yang dapat dilakukan
dalam merumuskan komunitas guna menyusun program CSR :
ü Menyusun
pembatasan kategori masyarakat lokal.
ü Mengidentifikasi
norma, adat, nilai, dan hukum setempat
ü Mengidentifikasi
pemuka pendapat yang berpengaruh
ü Memilih
komunitas primer dan sekunder
2. Menentukan
tujuan
Pertimbangan dalam menentukan tujuan,
dapat dimulai dari data temuan yang diperoleh dari lapangan (terkait dengan need, desires, wants, dan juga interest komunitas) kemudian
diformulasikan menjadi sebuah tujuan dari program CSR.
3. Menyusun
pesan yang hendak disampaikan
Program CSR mengandung sejumlah isu yang
menjadi fokus kegiatannya, maka perlu disampaikan kepada khalayak. Isu inilah
yang menjadi pesan dalam program CSR.
4. Memilih
Metode Penyampaian Pesan
Pemilihan metode
merupakan sebuah tahapan eksekusi dari mekanisme pemilihan pesan. Cara
penyampaian pesan haruslah selaras dengan kemampuan konstituen dalam memahami pesan.
5. Realisasi
Program
Realisasi dar sejumlah
perencanaan yang dilakukan merupakan tahap berikutnya. Menjalankan sejumlah
aktivitas dan isu yang telah disepakati, merupakan hal yang wajib dilakukan.
6. Analisis
hasil atau evaluasi
Evaluasi haruslah selalu dilakukan
untuk mengetahui efektivitas dan tingkat keberhasilan program CSR yang
dijalankan. Hasil evaluasi ini merupakan masukan bagi perencanaan dan realisasi
program berikutnya.
Agar
CSR bisa berkelanjutan, maka perusahaan harus sehat terlebih dulu. Jika sebuah
perusahaan tidak sehat, maka dia tidak bisa melakukan CSR dengan maksimal. Perusahaan yang sehat dan tumbuh, karyawan dan
masyarakat sekitar juga ikut tumbuh.
Dalam
menjalankan kegiatan bisnis, perusahaan harus selalu memperhatikan aspek
lingkungan yang juga menjadi salah satu konsep suistanable development.
Program
yang dibuat oleh perusahaan harus benar-benar merupakan komitmen bersama dari
segenap unsur yang ada di dalam perusahaan. Tanpa adanya dukungan semua elemen,
maka program CSR tersebut seolah bentuk penebusan dosa dari pemegang saham
belaka. Melakukan kegiatan CSR yang berkelanjutan, akan memberikan dampak
positif dan manfaat yang lebih besar, baik bagi perusahaan maupun stakeholder
yang terkait.
Referensi
Argenti P, Paul. 2006. Corporate
Communication. New York. McGraw. Hill International Edition.
Elkington, Jhon.
1997. Cannibals with Forks,The Triple Bottom Line of Twentieth Century
Business. UK. Capstone Publishing Ltd, Oxford.
Jim
Ife, 2001. Community Development:
Community-Based Alternatives in an Age of Globalisation. Australia. Pearson
Education Australia.
Magee, David.
2008. How Toyota Became #1. Jakarta.
PT Gramedia Pustaka Utama.
Rahman, Reza. 2009. Corporate
Social Responsibility:Antara Teori dan Kenyataan. Yogyakarta. Media
Pressindo.
Wahyudi, Isa dan Busyra Azheri. 2008.
Corporate Social Responsibility : Prinsip, Pengaturan, dan Implementasi.
Malang. In-Trans Publishing
Undang-Undang
Undang-Undang
No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Link
Akio Toyoda, President of Toyota Motor Corporation