Kuahnya
kental, kaya rempah, isi daging dan jeroan, gurih, nikmat jika ditambah
menggunakan jeruk nipis, waah jadilah makanan paling enak sedunia, setidaknya
begitulah menurut saya. Coto. Kuliner khas Makassar yang sudah terkenal
dimana-mana.
![]() |
sedapnyaa |
Dimana
ada coto pastilah ada ketupat, mereka adalah sepasang mahluk yang tidak bisa
dipisahkan. Beberapa warung Coto menyediakan burasa juga sebagai
makanan pelengkap Coto, tapi bagi lidah saya yang sejak dulu sudah terbiasa
dengan Coto dan ketupatnya, rasanya aneh jika makan coto selain dengan ketupat.
![]() |
sumber : ceritamakassar.wordpress.com |
Entah
bagaimana asal usul pasti kuliner ini. Sempat mengubek-ubek Google sana sini,
membandingkan satu artikel dan artikel lainnya dan akhirnya saya mmenyimpulkan
kalau coto sudah ada sejak jaman Kerajaan Gowa di tahun 1538 dan kuliner ini
dipengaruhi makanan asal Cina yang terlihat dari sambal coto yang menggunakan
tao-co yang note bene-nya adalah ciri khas kuliner asal Cina. Coto kemudian menjadi
terkenal hingga warung-warungnya dapat kita temui di beberapa tempat di Indonesia.
Sebahagian
orang Makassar pasti kenal dengan istilah ‘’garcot’’ atau Garring
Coto. Garring sendiri berarti sakit.
Istilah ini sering digunakan orang Makassar yang lagi ‘ngidam’ makan coto atau
candaan yang dilontarkan kepada orang yang lagi sakit untuk menghibur mereka.
Artinya adalah ketika orang itu sakit, maka penyebab ia sakit hanya karena
ingin makan coto, maka coto bisa menjadi penyembuh bagi yang menderita sakit. Inilah
mengapa coto menjadi primadona di Makassar, bahkan ketika sakit jika makan coto
maka orangnya bisa sembuh, hehe.
Lain ladang, lain belalang. Lain tempat, lain pula cotonya. Inilah yang saya rasakan
ketika pertama kali mencicipi coto di Kota Jogja. Beberapa bulan pertama di Jogja,
saya mengalami sindrom “garcot” alias garring coto. Yah, yang
namanya orang garcot, bawaannya jadi gelisah dan akhirnya jadi cerewet
mengatakan ke orang-orang kalau saya ingiiiiiin sekali makan coto, tapi tidak
tahu harus kemana. Salah seorang teman kemudian mengajak saya ke warung coto
yang kabarnya sangat terkenal di Jogja, terletak di daerah Kotabaru, Yogyakarta.
Hal yang pertama saya lihat
adalah warung yang tidak begitu besar dan tidak ada kursi yang kosong. Setelah
kami bersabar menunggu beberapa saat, saya dan teman lalu mendapat dua kursi
yang terletak di tempat yang tidak begitu nyaman buat kami berdua. Tempat kami
makan berada di lorong sempit yang harus berdesak-desakan dengan pelayan yang
lalu lalang dan pembeli yang keluar masuk. Tapi tak apa-apalah, demi memuaskan garcot saya, saya ikhlas saja.
Di Makassar, ketika seseorang
ingin memesan coto maka hal pertama yang harus dilakukan adalah memesan bagian
dari sapi atau kerbau yang ingin dimakan. Apakah dagingnya saja, hatinya saja,
atau campur daging dan jeroan sesuai selera si pembeli. Itulah yang saya
lakukan ketika pertama kali sampai disana, dengan percaya diri saya mendekati
pelayan dan meminta seporsi coto isi daging dan jantung, tapi si pelayan
mengatakan “tidak ada yang seperti itu.” Kecewa juga, jadi akhirnya menerima saja apa
yang disajikan oleh pelayan.
![]() |
Coto Kotabaru, Yogyakarta |
![]() |
Coto Kotabaru, Yogyakarta |
Seperti yang saya katakan
tadi, lain tempat, lain pula cotonya. Disamping saya tidak bisa memesan isi
coto sesuka saya, sambelnya pun bukan sambel tao-co yang memang khas untuk coto
dan rasanya pun beda. Ada bumbu yang menurut saya ditambahkan di dalamnya. Saya
familir dengan bumbu ini ketika sadar pernah mencicipi kuliner khas Jogja dengan
bumbu yang rasanya sama. Porsinya pun tidak begitu mengenyangkan bagi saya,
namun itu sesuai dengan harganya yang murah.
![]() |
Coto langganan saya di Makassar |
Pada akhirnya kuliner khas
suatu daerah ketika memasuki daerah tertentu, maka ia akan beradaptasi dengan
rasa lokal di daerah tersebut. Rasanya disesuaikan dengan lidah orang-orangnya.
Sama seperti lalapan yang aslinya berasal dari Jawa yang merupakan sayuran
mentah, namun orang Jawa yang menjualnya di Makassar harus merebusnya terlebih
dahulu karena orang Makassar tidak terbiasa makan dengan sayuran mentah. Begitu pula dengan coto yang saya ceritakan,
disesuaikan dengan rasa lokal, sesuai lidah orang Jogja. Salah satu teman
kuliah saya yang asli Jogja sangat menyukai rasa coto Kotabaru tersebut, namun
saya yakin, lidahnya belum tentu cocok dengan coto cita rasa Makassar.