Silvia Ramdini
Sari. Nama yang bagus sekali. Pemilliknya adalah seorang anak perempuan cantik,
berkulit putih susu. Poni selalu menghiasi wajahnya yang imut-imut itu. Kadang rambutnya
yang panjang diikat atau diurai begitu saja.
Aku suka ketika, ia tersenyum, memperlihatkan jelas dua gigi kelincinya,
menambah kesan imut pada wajahnya. Lucu. Kelucuan yang tidak membosankan.
Nama ini
pula yang sejak beberapa tahun lalu
kucari-cari di mesin pencari google. Klik sana, klik sini, hasilnya tidak
menjawab pertanyaanku. Memang, aku pernah menemukan namanya. Saat itu aku
sempat membaca, seorang mahasiswi yang bernama Silvia Ramdini Sari, meminta
bantuan keuangan untuk biaya kuliahnya, tapi aku tidak tahu, apakah mahasiswi
ini adalah Silvia yang aku cari. Aku juga tidak menemukan fotonya. Dan sampai hari ini, pertanyaanku, dia ada
dimana, belum terjawab.
Ada kisah
menarik bersamanya. Kisah masa lalu, saat kami masih kanak-kanak. Kisah anak-anak
kebanyakan. Tapi bukankah kisah masa kecil adalah kisah yang paling indah yang
pernah dijalani seseorang dalam hidupnya. Yah, terkecuali bagi anak-anak yang
harus mengorbankan masa kanak-kanaknya untuk banting tulang membantu keluarganya
yang tidak mampu. Semoga kelak, masa kecil mereka yang menderita itu, kelak
terbayar dengan tercapainya impian indah mereka. Aamiin.
Silvia Ramdini
Sari. Sering kupanggil ia Pia, walau teman-teman sering bercanda dengan
menyebut nama panggilannya seperti nama jenis kue. Jika mengingat namanya yang
bagus itu, selalu membuatku terlempar ke masa lalu di sebuah lapangan bola sederhana,
tidak berumput dengan tanah coklat yang gundul. Tempat warga mengadakan hajatan
di kampung kami, tempat anak-anak bermain apa saja. Di pinggir lapangan itu ada
sebuah pohon mangga raksasa yang kadang kami takuti, namun ketika tiba saatnya
berbuah, pohon itu seakan “membujuk” kami untuk memetik buhanya. Seakan-akan
ingin menunjukkan, bahwa ia sebenarnya bukanlah pohon yang menyeramkan.
Jadilah, kami bekerja sama bahu membahu berusaha menikmati buahnya. Ada yang
memanjat, ada yang menunggu di bawah mengumpulkan buahnya. Karena aku anak
perempuan satu-satunya, aku selalu diminta berada di bawah menunggu buah yang
dilemparkan para anak laki-laki yang memanjat pohonnya.

Iyah, lapangan
bola yang ada di lingkungan rumah kami. Tempat favoritku dan Pia bertemu untuk
janjian berangkat ke sekolah bersama. Terakhir aku mengunjungi lapangan itu
beberapa bulan yang lalu. Lapangannya masih ada, cuman hanya agak sedikit lebih
sempit dikarenakan rumah penduduk yang semakin menjamur. Pohon mangga raksasa
itu sudah tidak ada di tempatnya, entah kapan pohon itu ditebang. Kadang aku
terbayang, pohon itu masih berdiri kokoh ditempatnya. Di cabang-cabangnya yang
kuat ada beberapa anak bergelantungan, di batangnya yang besar, ada dua tiga
anak berlomba menaikinya, dan pohon itu tersenyum, tergelitik dengan ulah
anak-anak yang bermain di badannya.
Sore hari
setelah tidur siang adalah waktu bermain favorit kami. Biasanya aku yang
kerumahnya mengunjunginya. Setelah rapi dengan pakaian kaos dan celana
pendekku, aku berjalan-jalan sambil melompat-lompat. Kuciran rambutku yang
diikat oleh ibu, bergerak naik turun seiring gerakanku.
Di rumahnya ada
prosot-prosotan dan halaman yang luas untuk bermain. Ditambah lagi keluarganya
menanam pohon jambu air. Kami bermain prosot-prosotan dibawah pohon itu. Jika
hari libur tiba, aku bahkan sering bermain dari pagi hingga sore hari di
rumahnya. Oleh Mbahnya, kami sering disajikan telur dadar dan sambal terasi
yang masih ada di tempat ulekannya, kami menikmati makan siang kami dengan
mencocol telur dadar kami di ulekan itu. Pia marah, jika aku bermain-main
dengan nasiku.
Tiap sore, ia
dan kakak perempuannya rutin menjemputku untu belajar mengaji di surau. Aku
jadi tertawa sendiri, jika mengingat kejadian awal aku dimasukkan oleh ibu ke
TPA, aku sangatlah pemalu, saking pemalunya, aku tidak ingin pergi mengaji.
Suatu hari, aku bersembunyi di kamar mandi karena tidak ingin bertemu banyak
orang di TPA, sedangkan di luar kamar mandi, ibu, Pia dan kakaknya membujuk ku
agar segera keluar. Dengan bujukan yang tiada henti, aku akhirnya luluh juga. Dengan
satu syarat, aku tidak boleh berpisah dengan Pia.
Surau tempat kami mengaji, berdiri di sebuah empang ukuran sedang. Lebih bisa dikatakan sebagai rumah terapung, kami harus berhati-hati berjalan menuju pintunya yang disambungkan oleh sebuah papan kecil panjang yang bergoyang-goyang jika kami berjalan di atasnya.
Aku juga ingat
betul, ketika kami pulang mengaji bersama melewati sebuah rumah panggung kayu
tidak berpenghuni, tempat kami anak-anak yang mengaji di surau menghabiskan
sore kami di rumah itu. Karena rumah itu masih setengah jadi, beberapa
materi-materi berbahaya masih berserakan di sana. Seorang anak pernah terluka,
pahanya terkena paku ketika ia mencoba turun menggunakan sebuah papan kayu
yang ternyata masih tertempel paku. Aku dan Pia, menjadi saksi saat itu,
bukannya menolong, kami berdua malah menertawai anak malang tersebut yang
lari terbirit-birit sambil memegang pahanya. Dan, tawa itu pun harus kubayar
ketika suatu hari aku bermain di sana dan tak sengaja menginjak seng tajam yang
menggores tepat di ibu jari kakiku. Hingga kini, belasan tahun sejak kejadian
itu, bekas lukanya masih ada, terlihat samar-samar, namun cukup mengingatkanku
dan memberikanku pelajaran bahwa menertawai penderitaan orang lain merupakan hal yang paling tidak patut dilakukan.
Kenakalan-kenakalan
masa kecil ku dan Pia juga muncul di sekolah kami. Yang menjadi korban keusilan
kami adalah seorang anak yang sebenarnya bisa dikatakan “spesial” tapi,
begitulah kami, anak-anak jahil yang tidak tahu menahu jika anak seperti itu
tidak pantas dijadikan objek kenakalan kami.
Bersambung..
Sleman, 10-11-12