Pages

Rabu, 24 Oktober 2012

Makassar+Jogja (Part 1)



Ketika sampai di Jogja, saya sudah menebak-nebak kejadian-kejadian mengejutkan apa yang akan saya lihat, alami dan rasakan di Kota Gudeg ini. Yang paling terasa mungkin adalah soal kebiasaan, budaya dan adat istiadat yang ada di sini. Tentu saja, budaya Bugis-Makassar dan di Jawa pada umumnya dan di Jogja pada khususnya sangat berbeda.
Hal pertama yang cukup menarik perhatian saya adalah kebiasaan makan salah seorang teman kuliah saya yang berasal dari Malang, Jawa Timur. Kami berdua sering melakukan kegiatan bersama-sama, diskusi bareng, jalan bareng, pergi kuliah bareng, pulang kuliah ke kosa-an masing-masing juga bareng, belanja bareng, karena teman saya, yang berinisial N ini mempunyai motor dan saya adalah penumpang setianya, hehe. Saya sampai punya helm sendiri, padahal saya tidak punya motor, kemana-mana saya selalu (numpang) sama teman saya ini, jadilah kami juga sering melakukan wisata kuliner bareng.
Berhubung transportasi di Jogja agak sulit jika dibandingkan dengan transportasi di Makassar yang begitu sangat “memanjakan” warganya. Ada pete’-pete’ (angkot) yang jumlahnya malah melebihi warga Makassar, plus sering berhenti dimana saja ia melihat penumpang incarannya, belum lagi jika bersaing dengan pete’-pete’ yang lain yang juga dari tadi sudah mematai-matai, jadilah sang calon penumpang ibarat gadis cantik yang diperebutkan banyak pemuda (analogi yang ngasal) Pokoknya kita benar-benar dimudahkan dengan sarana transport di Kota Makassar yang cukup berlebihan, kalau orang Makassar bilang, nala’ju mi ki. hehehe :D

Bedanya di Jogja, transportasi di sini pilihannya agak sedikit dan jam beroperasinya cukup singkat. Selain Bus Trans Jogja, disini, angkotnya mirip bus, bentuknya panjang dan selama ini saya pernah melihat ada yang berwarna hijau, biru dan hitam. Perbedaan lainnya juga dari pete-pete’  yaitu angkot disini, kursi penumpangnya duduk berjejer kebelakang, berbeda dengan pete-pete’  yang kursi penumpanya saling berhadapan, jadi sangat berpotensi memunculkan cinlok di atas pete-pete karena selama perjalanan saling menatap, (sekali lagi ini asal-asalan saya :D ) soal transportasi ini, akan saya cerita panjang lebar di lain kesempatan. Sekarang kembali ke teman saya itu.
Sekali waktu, kami berdua ingin makan, makanan yang berkuah. Setelah menelusuri jalan Kaliurang, kami akhirnya menemukan warung yang tadinya direkomendasikan teman kos teman saya itu, katanya sotonya enak. Lokasinya berada di samping GSP UGM, tapi masih berada di luar kampus. Di dalam pikiran saya, seenak apapun soto yang dikatakan orang sini, biasanya ada saja bumbu atau bahan-bahan yang ada di soto yang tidak cocok di lidah Makassar saya :D
Ternyata benar, sayuran yang menurut perkiraan saya adalah kol, yang ada di dalam soto itu agak mentah. Karena ketika saya gigit, masih agak keras. Perbedaan orang Bugis-Makassar dan Jawa, juga terletak di sayur mayur itu. Orang Jawa yang menjual ayam lalapan di Makassar, menyesuaikan selera orang Makassar yang tidak suka makan lalapan mentah dengan merebus lalapannya terlebih dahulu. Karena saya berada di Jawa, maka saya harus membiasakan lidah saya, tapi tetap saja saya tidak suka sayur mentah. Jadi ketika saya (sering) makan lalapan di sini saya selalu menyisakan kol mentah dan hanya memakan bonte’ alias ketimunnya dan juga sesekali mengunyah daun kemanginya.

Ini Soto Lamongan yang kami santap di samping GSP

 Nah, kembali ke warung soto Lamongan tadi, (oh iyah, saya lupa menyebut nama soto tadi di awal cerita) saat sang pelayan menyajikan soto itu dihadapan saya, saya cukup kaget. Saya kaget bukan karena melihat tampilan sotonya, saya kaget karena baru ingat jika soto yang berasal dari Jawa Timur itu disajikan satu paket dengan nasinya, satu paket di sini dalam artian satu mangkok. Jadi, nasinya udah kebanjiran soto, udah tenggelam. Sebenarnya saya sudah tahu jika soto yang disajikan akan seperti itu, karena pernah melihat di TV. Yah, padahal harapan saya, saya makan itu, nasinya dipisah dengan sotonya, seperti jika makan Sop Saudara yang terpisah dengan nasinya (ngapain juga saya membandingkan sajian Sop Saudara dengan Soto Lamongan, ckckck) tapi kan sama-sama berkuah dan pake nasi! (ngeles.com) Yah, apa boleh buat, nasinya bukan menjadi bubur, tapi udah tenggelam di Soto :D saya makan saja, tapi terasa aneh buat saya. Teman saya, makan ya nyantai aja, lha wong itu udah biasa buat dia. Sebenarnya ada satu hal yang membuat saya agak berasa aneh jika makan soto dan nasinya ditenggelamkan ke dalam kuahnya, dan ini berhubungan dengan kebiasaan dan anggapan orang Bugis-Makassar, tapi tidak usah saya ceritakan secara detail ya. :D
Nah, lanjuut. Saya juga sempat senyum-senyum sendiri, ketika di lain kesempatan, saya dan teman saya itu makan di warung di pinggir jalan yang lokasinya masih berada di sekitar Jalan Kaliurang yang kalau di Makassar, disebutnya Sarla atau Sari Laut karena Makassar memang terkenal dengan kuliner seafoodnya. Tapi disini agak berbeda, yang ada yaitu sajian ayam dan ikan (seringnya ikan lele). Saya agak trauma dengan memesan soto, (lebay) akhirnya saya memilih sop ayam dan berharap-harap cemas (lebay mi seng) nasinya tidak ditenggelamkan, kan kasian :’( teman saya, si N ini memesan soto, tapi sudah habis, jadilah kami berdua makan sop ayam yang nasinya dipisah. Ketika kami memulai acara santap malam kami, saya tersenyum melihat teman  melakukan ritual makan yang kebalikannya dengan saya, jika saya menyendok sup untuk saya pindahkan ke piring nasi, teman saya malah menuang nasinya ke mangkok supnya, supaya banjiir. Hehe. Itu pemandangan asing tapi tidak aneh bagi saya :D  dan ternyata teman saya itu juga senyum-senyum melihat saya yang melakukan hal sebaliknya dengan dia, akhirnya sama-sama ketawa deh.

Inilah penampakan teman saya dan sotonya  :D 

Itulah sedikit cerita, awal saya menginjakkan kaki di kota yang indah ini :). Kalo ada salah-salah kata mohon dimaafkan dan diluruskan saja, jangan sampai diperkarakan :D
To be continued..
Yogyakarta, 22 Oktober 00:32 WIB



Selingan sambil mengerjakan tugas kuliah